JAKARTA – Harapan rakyat Indonesia untuk menikmati internet cepat, murah, dan legal akhirnya sedikit naik kelas dari sekadar “doa warga RT-RW Net”. Kali ini bukan jaringan hasil gotong royong pak RT yang kabelnya melintang di antara jemuran, tapi program resmi pemerintah lewat Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi).
Pada 15 Oktober 2025, Komdigi menuntaskan lelang spektrum frekuensi 1,4 GHz, langkah strategis yang diklaim sebagai jalan tol menuju internet 100 Mbps seharga Rp100 ribu per bulan harga yang selama ini cuma hidup di grup Facebook komunitas warganet yang doyan mimpi murah meriah.
Menurut laporan Stockwatch.id (15 Oktober 2025) dan Bloomberg Technoz (16 Oktober 2025), pemenang lelang ini adalah konsorsium PT Telemedia Komunikasi Pratama, anak usaha dari PT Solusi Sinergi Digital Tbk (Surge/WIFI) dan Eka Mas Republik, pemilik merek MyRepublic.
Langkah ini bukan sekadar bagi-bagi frekuensi, tapi bagian dari strategi pemerintah membangun sistem “open access” alias jaringan terbuka yang bisa dipakai rame-rame oleh operator lain. Harapannya, dengan berbagi pipa, harga bisa ditekan tanpa mengorbankan kecepatan.
Tapi seperti biasa, rakyat skeptis punya satu pertanyaan: “Murahnya sampai kapan?”
Program internet murah 100 Mbps pertama kali diumumkan pada Februari 2025, dengan target muluk: masyarakat bisa menikmati layanan tersebut di tahun yang sama. Sebuah ambisi yang, jujur saja, lebih cepat dari kecepatan loading beberapa situs pemerintah.
Komdigi mengaku program ini bukan sekadar pemanis digital, tapi solusi atas kesenjangan konektivitas yang masih kronis. 86% sekolah dan 75% puskesmas di Indonesia dikabarkan belum punya akses internet memadai. Jadi, jangan heran kalau guru-guru di pelosok masih kirim nilai via ojek, atau puskesmas upload data pakai sinyal “3G by doa”.
Industri pun memberi respons optimistis. Telkomsel, melalui wawancara dengan Bisnis Tekno (Agustus 2025), menyebut rencana ini “bukan mustahil, asal ekosistemnya sehat”. Artinya: kalau semua pihak mau bagi bandwidth, bukan cuma janji.
Lucunya, sebelum lelang frekuensi ini resmi rampung, beberapa pemain sudah “pemanasan”.
- Starlite (Surge) diam-diam sudah menjual paket 100 Mbps seharga Rp100 ribu di beberapa kota.
- Indosat HiFi, lewat video YouTube September 2025, juga menggoda publik dengan promo serupa.
Kalau dibanding, dua-duanya seperti warung internet yang buka duluan sebelum izin keluar tapi dengan branding elegan dan router kinclong.
Namun, para pengamat mengingatkan: jangan buru-buru jual modem lama dulu. Harga Rp100 ribu bisa saja “harga promo”, bukan “harga permanen”. Kita tahu betul, banyak yang dulu mulai dari Rp99.000, lalu naik pelan-pelan sampai akhirnya setara cicilan motor.
Skema open access sejatinya bagus semua penyedia bisa menumpang di infrastruktur yang sama. Tapi di dunia nyata, implementasinya bisa serumit jaringan kabel di tiang listrik kampung.
Jika semua operator benar-benar kompak, harga bisa ditekan dan layanan merata. Tapi jika yang terjadi adalah tarik-menarik kepentingan, rakyat bisa kembali ke nasib lama, sinyal lambat, tagihan cepat.
Rampungnya lelang frekuensi 1,4 GHz oleh Komdigi memang membawa angin segar bagi jutaan pengguna internet di Indonesia. Untuk pertama kalinya, pemerintah bicara internet murah tanpa embel-embel “program pilot di lima desa saja”.
Apakah ini awal dari revolusi digital sejati atau sekadar versi lebih rapi dari RT-RW Net bersertifikat? Waktu yang akan menjawab.
Yang jelas, jika benar 100 Mbps bisa dinikmati dengan Rp100 ribu per bulan, mungkin untuk pertama kalinya rakyat Indonesia bisa berkata:
“Murah banget, nggak perlu nebeng Wi-Fi tetangga lagi.”***







