LAMPUNG TIMUR — Di tengah sawah Desa Marga Batin, Kecamatan Waway Karya, suara mesin panen kini tak lagi terdengar. Bukan karena musim kering, tapi karena alat pertanian yang dulu dijanjikan datang lalu pergi tanpa pamit.
Warga desa, khususnya para petani, masih ingat betul janji manis HF, anggota DPRD Lampung Timur dari Partai Gerindra, saat masa kampanye tahun lalu. Katanya, sebuah alat pertanian combed akan jadi “teman panen” mereka. Tak perlu setor, tak perlu rebutan, tinggal pakai dan hasilnya untuk kemajuan kelompok tani.
Tapi rupanya, janji itu seperti embun pagi sempat menyegarkan, lalu menguap begitu saja setelah kursi dewan resmi diduduki.
“Dulu waktu Pileg, Pak HF bilang alat ini buat membantu petani. Bahkan diantar langsung oleh timnya. Kami percaya, karena beliau minta dukungan suara. Tapi setelah terpilih, alat itu malah diambil dan dikasih ke orang lain bernama Karnoto,” tutur sumber media ini, seorang petani, dengan nada getir yang berusaha tetap sopan.
Semula, warga berpikir ini cuma kesalahpahaman kecil antarpendukung. Tapi ternyata, alat tersebut benar-benar berpindah tangan. Dan lebih menarik lagi pengelola barunya disebut-sebut masih dalam lingkar keluarga HF sendiri.
Ketika dikonfirmasi, Karnoto yang kini memegang alat combed itu, tak menampik sumber pemberiannya.
“Iya, ini dari Mas HF, Partai Gerindra Lampung Timur. Tapi soal bantuan atau aspirasi, saya kurang tahu. Sistemnya bagi hasil sama Lek Misni,” kata Karnoto, santai. Diketahui bahwa Lek Misni disebut warga sebagai orang tua dari HF.
Ya, tampaknya mesin pertanian itu kini bukan hanya combed, tapi juga kompleks — karena bukan lagi soal alat, tapi soal relasi dan kekuasaan.
Polemik ini menyisakan tanya di masyarakat:
Apakah alat itu bantuan aspirasi resmi DPRD, program partai, atau milik pribadi yang “nyasar” ke petani hanya saat butuh suara?
“Kalau memang bantuan pemerintah, seharusnya ada bukti dan mekanisme serah terima yang jelas. Jangan sampai fasilitas publik dipakai untuk kepentingan politik pribadi,” tegas Jhon, tokoh muda dan pengamat kebijakan publik Lampung Timur.
“Rakyat ini bukan lumbung suara yang bisa dipanen seenaknya setiap lima tahun.”
Upaya konfirmasi kepada HF sejauh ini masih macet di sinyal. Nomor ponselnya hanya centang satu antara tidak aktif, ganti nomor, atau sedang melakukan “puasa komunikasi” dengan media.
Kini warga Marga Batin berharap agar Dinas Pertanian Lampung Timur dan Partai Gerindra turun tangan. Mereka meminta klarifikasi terbuka dari mana sebenarnya alat itu berasal, apa kah memang milik pribadi HF, atau bukan. Jika bukan tentu pertanyaan menggantung, untuk siapa seharusnya digunakan?
“Kami cuma ingin tahu kebenarannya. Kalau memang bantuan aspirasi, tunjukkan datanya. Jangan sampai alat untuk petani jadi ajang bancakan politik,” ujar petani di Marga Batin lagi, kali ini sambil tersenyum getir.
Dalam politik, alat berat mungkin bisa membantu membajak sawah. Tapi janji politik yang tak ditepati, justru membajak kepercayaan rakyat dan itu, tak ada traktor yang bisa memperbaikinya.***












