BEKASI — Bagi masyarakat Betawi, jengkol bukan sekadar bahan makanan. Ia adalah simbol keakraban, pengikat tradisi, bahkan bisa dibilang “pusaka rasa” warisan para leluhur.
Seperti kata Bang Ilok, Ketua Yayasan Kebudayaan Orang Bekasi (KOASI), “Kalo kriyaan kaga ada nyeng entuh, kaga nyoor. Ada nyeng kurang kiatan ya.” Artinya, kalau dalam pesta orang Betawi gak ada jengkol, rasanya kurang greget.
Saat musim lebaran atau hajatan, jengkol bisa muncul lima kali sehari dalam berbagai rupa: digoreng, disemur, dipecak, bahkan dilalap mentah. Dan anehnya, kata Bang Ilok, walaupun aromanya tajam, jengkol justru bikin makan makin lahap, bukan malah ilfeel.
Namun, kondisi kini berbeda. Dulu, di kampung-kampung Bekasi dan sekitarnya, pu’un jengkol (pohon jengkol) gampang ditemui. Anak-anak tinggal “nyengget” (memetik dengan galah) dari kebun. Kini, jengkol sudah jadi barang mahal makanan rakyat yang berubah jadi komoditas mewah.
“Dulu mah tinggal ke kebon, sekarang mesti ke pasar. Dan harganya? Bisa bikin mikir dua kali,” keluh Bang Ilok, mengingat masa kecilnya di kampung.
Bukan cuma daging jengkol yang dimanfaatkan, kulit jengkol pun jadi bagian dari memori kolektif anak-anak kampung.
Di masa kecilnya, Bang Ilok bercerita, kulit jengkol yang keras dijadikan alat bermain dipatahkan setengah lalu dijepitkan di telinga seperti anting-anting.
Bahkan kulitnya kerap diaur (disebar) ke bawah pohon padi sebagai pupuk alami.
“Kulitnya bikin padi subur, kitanya mainan, ibunya masak semur lengkap dah hidup kampung mah,” ujarnya sambil tertawa.
Kejengkolan: Rasa Nikmat yang Ada Risikonya
Tapi di balik kenikmatannya, jengkol juga punya ‘kutukan’ sendiri. Kejengkolan—kondisi saat buang air kecil terasa sakit dan pinggang panas. Duduk salah, berdiri salah.
Tapi orang tua dulu sudah tahu obatnya, air kelapa. “Minum kelapa go, cepet bae ilangnya,” begitu katanya.
Bang Ilok menutup kisahnya dengan suasana makan jengkol yang menurutnya paling ideal pecak jengkol panas, hujan gerimis, makan rame-rame di bale bambu.
“Cuma makan model begitu aja, udah bikin bahagia. Yang penting bareng-bareng, ada jengkol, ada cerita,” pungkasnya.
Pelestarian Rasa dan Budaya
Yayasan KOASI menilai pentingnya melestarikan jengkol sebagai identitas kuliner dan budaya masyarakat Betawi-Bekasi. Bukan hanya soal rasa, tapi juga soal kenangan, gotong royong, dan cara hidup.
Karena sejatinya, jengkol bukan sekadar makanan, ia adalah cerita, tawa, dan sejarah di tiap meja makan orang Betawi.***