JAKARTA – Angka pengangguran di Indonesia masih menjadi pekerjaan rumah besar. Berdasarkan data terbaru Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 7,28 juta orang masih belum memiliki pekerjaan.
Di tengah tingginya angka tersebut, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus menghantam berbagai sektor industri, memaksa pemerintah pusat dan daerah menggelar berbagai Job Fair untuk merespons krisis ketenagakerjaan ini.
Salah satu Job Fair yang baru-baru ini menyedot perhatian publik adalah “Bekasi Pasti Kerja 2025”. Acara ini mendadak viral di media sosial karena dipadati puluhan ribu pencari kerja yang membludak hingga berdesak-desakan, bahkan memicu kericuhan.
Potret tersebut tidak hanya memperlihatkan tingginya antusiasme masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan, tetapi juga kembali membangkitkan perbincangan soal janji pemerintah menciptakan 19 juta lapangan kerja baru.
Janji itu sebelumnya disampaikan oleh Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka saat masih menjadi Calon Wakil Presiden dalam Debat Pilpres keempat di JCC Senayan, Jakarta pada 21 Januari 2024.
“Jika agenda hilirisasi, pemerataan pembangunan, transisi energi hijau, ekonomi kreatif, UMKM bisa kita kawal, insyaallah akan terbuka 19 juta lapangan kerja untuk generasi muda dan kaum perempuan,” ujar Gibran, dikutip kembali pada Jumat (6/6/2025).
Namun, mungkinkah janji ambisius itu benar-benar terealisasi dalam lima tahun ke depan?
Ekonom: “19 Juta? Terlalu Jauh dari Realita”
Direktur Ekonomi Digital Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, memandang target tersebut sulit tercapai. Ia menyoroti fenomena melemahnya daya serap tenaga kerja meskipun ekonomi tumbuh.
“Dulu, 1% pertumbuhan ekonomi bisa menyerap 400 ribu tenaga kerja. Sekarang, 1% hanya mampu menyerap 100 ribu—bahkan bisa kurang,” jelas Nailul kepada detikcom. Ia menyebut kondisi ini sebagai dampak dari deindustrialisasi dini, di mana investasi yang masuk tak mampu mendorong sektor manufaktur.
Jika tren ini terus berlanjut, dengan asumsi penyerapan 120 ribu tenaga kerja per 1% pertumbuhan ekonomi, maka selama lima tahun hanya akan tercipta sekitar 3 juta pekerjaan—jauh dari janji 19 juta. Lebih parah lagi, menurut Nailul, sebagian besar pekerjaan itu justru muncul di sektor informal yang minim perlindungan sosial.
INDEF: Janji Bisa Tercapai
Berbeda dengan Celios, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Esther Sri Astuti, menyatakan bahwa janji 19 juta lapangan kerja sebenarnya bisa dicapai—namun syaratnya, kebijakan pemerintah harus benar-benar mendukung arah tersebut.
Esther menekankan pentingnya investasi besar pada pendidikan. Ia mengkritik keputusan pemerintah yang justru mengurangi anggaran pendidikan dan lebih memprioritaskan program-program seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) dan Koperasi Merah Putih, yang menurutnya belum menyasar peningkatan kualitas SDM.
“Kalau mau menciptakan 19 juta lapangan kerja, yang utama adalah upgrade skill dan pendidikan. Tapi sekarang justru anggaran pendidikan dipotong. Akses ada, tapi kualitasnya tidak diperkuat,” tegasnya.
Selain itu, Esther menyarankan agar pemerintah mulai mengalihkan fokus insentif dari konsumsi ke investasi. Ia menilai bahwa program bantuan seperti bansos dan subsidi belum berdampak langsung pada penciptaan lapangan kerja berkelanjutan.
“Kalau mau dorong penciptaan kerja, insentif harus diarahkan ke sektor yang produktif dan berkelanjutan. Bukan hanya bagi-bagi uang, tapi membangun kapasitas,” tambahnya.***