Scroll untuk baca artikel
Budaya

Jumeneng Dalem Tanpa “Kerabat Besar”: Ketika Tahta Naik, Kursi Undangan Justru Banyak yang Kosong

×

Jumeneng Dalem Tanpa “Kerabat Besar”: Ketika Tahta Naik, Kursi Undangan Justru Banyak yang Kosong

Sebarkan artikel ini
Hamangkunegoro Resmi Dinobatkan sebagai SISKS Pakubuwono XIV - foto doc ist

JAKARTA – Prosesi jumeneng dalem nata biyanangkare SISKS PB XIV di Keraton Kasunanan Surakarta seharusnya menjadi panggung megah, pewaris dinasti Mataram naik takhta, gamelan berdentang, dan para penguasa keraton yang konon masih satu darah berdiri memberi restu.

Tetapi yang hadir justru terutama para abdi dalem dan prajurit bregada, sementara kursi para “tetangga dinasti” tetap dingin menunggu tamu yang tak kunjung datang.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Sri Sultan HB X? Tidak tampak.
Paku Alam X? Tidak kelihatan.
Mangkunegara X? Juga absen.

Sebuah ironi budaya ketika raja wafat, semua datang melayat. Ketika raja baru naik takhta, banyak justru memilih tidak hadir. Ternyata lebih mudah datang saat duka daripada hadir saat legitimasi baru harus diakui.

BACA JUGA :  Asosiasi Jurnalis Online Lampung DPD Tanggamus Gelar Rakor Internal

Padahal, saat surud dalem Pakubuwono XIII (2/11/2025), para penguasa dinasti Mataram Islam hadir berurutan, Mangkunegara X hadir pada hari pertama, Sultan dan Paku Alam menyusul dua hari kemudian.

Tetapi ketika adik bungsu mendiang raja itu dinobatkan sebagai SISKS Pakubuwono XIV, seolah kalender semua mendadak penuh.

Gubernur Jateng Ahmad Luthfi? Tidak hadir.
Wali Kota Solo Respati Ardi? Juga tidak.
Wakil Wali Kota Astrid? Tidak terlihat.
Meski undangan sudah disebar dari Forkompimda hingga “tetangga rumah”, termasuk Presiden Jokowi yang notabene tinggal di Solo.

GKR Timoer Rumbay bahkan sudah memastikan Sultan akan hadir. Namun, kenyataan di Siti Hinggil tak semanis konferensi pers. Para tamu kehormatan yang dijanjikan datang ternyata hanya hadir sebagai nama yang pernah disebut, bukan sebagai sosok yang duduk di kursi tamu kerajaan.

BACA JUGA :  Ironis AIM Kena OTT, Warga Lampura Sembelih Tujuh Ekor Kambing

Sementara itu, sang putra mahkota berjalan tegap.
Dari Dalem Ageng menuju Siti Hinggil, KGPAA Hamangkunegoro dengan busana takwa fushia dan jarik parang barong menaiki Watu Gilang, batu sakral raja-raja Mataram, dan mengucap sumpah suci menggantikan sang ayah sebagai PB XIV.

Tradisi berjalan sempurna, gamelan ditabuh, prajurit bregada berbaris, kereta Garuda Kencana siap ditarik delapan kuda.

Yang kurang hanya satu: kehadiran simbolik para pemilik “darah Mataram” lainnya dan para pejabat yang biasanya tidak ingin ketinggalan momen sejarah.

Keraton berdiri teguh menjaga adat, tetapi kehadiran politik tidak ikut menjaga upacara. Seperti dua dunia yang berpisah: adat yang menghendaki legitimasi simbolik, dan politik yang memilih berhitung sebelum melangkah.

BACA JUGA :  Menyoal Kelawar, Kudapan Khas Sekampung Limo Mego

Dalam sabdanya, PB XIV berjanji pada tiga hal besar:

  1. Menjalankan syariat Islam dan paugeran keraton.
  2. Mendukung NKRI.
  3. Menjaga warisan adiluhung para leluhur Mataram.

Janji itu diucapkan tegas, meski sebagian kursi yang seharusnya menyimak memilih tetap kosong. Namun mungkin inilah cermin zaman, di tengah modernitas yang berlari cepat, dinasti-dinasti tua kini tidak hanya menjaga tradisi, tetapi juga menjaga wibawa dari absensi yang terlalu sering terjadi.

Prosesi jumeneng dalem PB XIV berlangsung agung setia pada naskah budaya Mataram. Tapi absennya para penguasa keraton lain dan pejabat daerah memberi catatan satir yang sulit disembunyikan:

Kadang, yang paling terasa dalam upacara bukan siapa yang hadir, tetapi siapa yang memilih tidak ikut menonton sejarah berlangsung.***