KABUPATEN BOGOR — Setelah bertahun-tahun hidup berdampingan dengan debu tambang, jalan berlubang, dan truk-truk raksasa yang lewat seperti badai baja, para pekerja tambang di kawasan Parung Panjang akhirnya menerima kabar yang sedikit lebih cerah.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat memastikan bantuan tunai sebesar Rp9 juta per orang bagi warga terdampak penghentian sementara kegiatan tambang dan operasional angkutan barang.
Bantuan itu, kata Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM), akan disalurkan dalam dua tahap: Rp3 juta pada November 2025 dan sisanya Rp6 juta pada Januari 2026.
“Tahap pertama Rp3 juta, karena belum semua terencana di APBD 2025. Di 2026 nanti kita siapkan lagi Rp6 juta. Jadi totalnya Rp9 juta kompensasi,” ujar KDM usai rapat di Gedung Setda Kabupaten Bogor, Senin (3/11/2025).
Kebijakan penghentian sementara tambang di Parung Panjang, Rumpin, dan Cigudeg sejatinya lahir bukan dari romantisme lingkungan, melainkan dari realitas pahit: polusi, macet, dan jalan rusak yang sudah lama jadi “tiga serangkai penderitaan” warga.
Dalam surat keputusan bernomor 7920/ES.09/PEREK tertanggal 25 September 2025, pemerintah menegaskan perlunya jeda agar kerusakan yang sudah separah itu tak menjadi kenangan permanen.
Namun, KDM tampaknya ingin lebih dari sekadar jeda. Ia ingin “tambang yang beradab” frasa yang mungkin terdengar paradoks, tapi jadi penting ketika manusia lebih sering jadi alat ekonomi daripada subjeknya.
“Pertambangan harus melahirkan nilai kemanusiaan. Saya gak mau lagi ada kuli lajur tanpa asuransi, atau tukang muat yang kalau meninggal gak dapat santunan. Saya juga gak mau mereka dibayar murah,” tegasnya.
Tak berhenti di uang kompensasi, Pemprov Jabar juga tengah menyiapkan skema kredit tanpa DP bersama Bank bjb, agar para sopir tambang bisa memiliki kendaraan sendiri bukan sekadar “nyupir buat orang”.
“Hari ini mereka nyupir tronton, nyupir colt diesel, tapi punya orang. Saya ingin mereka jadi tuan di tanah sendiri,” kata KDM.
Di sela keramaian acara, Sumarni, warga Cigudeg yang ikut menerima bantuan, menatap amplop putih yang digenggamnya erat.
“Kami ikut saja arahan pemerintah. Kalau ini jalan terbaik, semoga benar-benar jadi rezeki, bukan janji,” ucapnya lirih.
Bantuan Rp9 juta itu mungkin belum cukup untuk menutup lubang jalan apalagi lubang nasib tapi bagi para pekerja tambang yang kehilangan mata pencaharian, setidaknya ini tanda bahwa negara masih ingat, meski kadang datangnya setelah debu menutup semua warna harapan.***












