BOGOR – Kisruh di Desa Bojongkulur, Kecamatan Gunung Putri, Kabupaten Bogor, makin menyerupai sinetron politik ala layar kaca. Setelah ratusan warga mengepung kantor desa menuntut mundurnya Kepala Desa (Kades) Firman Riansyah, yang langsung direspon Badan Permusyawaratan Desa (BPD) yang tampil bak “hakim agung” dengan mengumumkan penonaktifan sang Kades.
Sayangnya, langkah BPD tersebut dimentahkan Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (DPMD) Kabupaten Bogor. Kepala DPMD, Hadijana, menegaskan: “Dalam regulasi, tidak ada istilah menonaktifkan Kades. Yang ada hanya pemberhentian tetap atau sementara. Jadi jangan bikin istilah baru seenak sendiri.”
Diketahui sebelumnya, ratusan warga sebelumnya turun ke jalan, Senin (15/9/2025), menuding Firman arogan, sewenang-wenang, dan tidak transparan dalam menjalankan kebijakan.
Isu paling panas adalah penggantian staf desa dan pembubaran sepihak petugas amil pengelola dana sosial.
“Kami muak. Kades semaunya sendiri, kayak desa ini milik pribadi,” teriak Ahmad Fauzi, koordinator aksi.
BPD Bojongkulur kemudian mengeluarkan surat rekomendasi penonaktifan Kades Firman. Seolah-olah mereka punya tombol “off” dan “on” untuk jabatan kepala desa.
Padahal, menurut Peraturan Bupati (Perbup) Nomor 66 Tahun 2020 Pasal 122–131, urusan pemberhentian Kades tidak sesederhana mencabut colokan listrik.
“Pemberhentian tetap hanya berlaku jika Kades meninggal, mengundurkan diri, atau diberhentikan karena pelanggaran berat. Kalau cuma bikin warga kesal, ya belum tentu masuk kategori,” jelas Hadijana dengan nada menohok.
Sedangkan pemberhentian sementara bisa dilakukan bila sang Kades sudah ditetapkan sebagai tersangka korupsi, makar, atau menjadi terdakwa dengan ancaman pidana minimal lima tahun. Artinya, kalau hanya “arogan” atau “ganti staf seenaknya”, belum cukup untuk menendang Kades keluar dari kursi empuknya.
Meski demikian, Hadijana tetap mengakui bahwa keputusan BPD sah sebagai produk lembaga desa. “Keputusan BPD resmi. Tapi kalau mau memberhentikan Kades, ya harus sesuai regulasi. Jangan bikin hukum versi sendiri,” tegasnya.
Drama ini menelanjangi realita politik di level akar rumput. Warga marah karena merasa Kades arogan, BPD sok jadi “pengadilan desa”, sementara DPMD datang membawa kitab regulasi.
Semua sibuk memainkan peran, tapi masalah pokok transparansi, tata kelola, dan kepercayaan publik masih menggantung.
Ironisnya, kisruh ini terjadi di desa dengan APBDes miliaran rupiah, tapi konflik lebih sering soal “siapa ganti siapa” ketimbang membangun jalan atau memperbaiki saluran air.
Seorang warga bahkan nyeletuk, “Kalau begini terus, mending desa kita bikin sistem voting online. Kalau Kades ngeyel, tinggal klik uninstall.”***