LAMPUNG – Jejak sejarah pembentukan Provinsi Lampung kembali mendapat sorotan. Pemerintah Provinsi Lampung bersama Pemerintah Kota Bandar Lampung, Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi Lampung, serta Himpunan Mahasiswa Arsitektur Universitas Lampung (HIMATUR) mendorong Rumah Daswati ditetapkan sebagai cagar budaya sekaligus direstorasi.
Upaya ini dipandang krusial agar bangunan yang pernah menjadi pusat perjuangan rakyat Lampung tidak lenyap ditelan zaman.
Komitmen bersama itu diwujudkan melalui kegiatan Pembersihan Area dan Pengenalan Sejarah Rumah Daswati, Kamis (4/9/2025), di Jalan Tulang Bawang Nomor 11, Kecamatan Enggal, Kota Bandar Lampung.
Rumah Daswati bukan sekadar bangunan tua. Ia menyimpan jejak perjuangan administratif dan politik rakyat Lampung. Awalnya milik pejuang asal Menggala, Achmad Ibrahim, rumah ini digunakan sejak 7 Maret 1963 sebagai Kantor Panitia Perjuangan Daerah Swatantra Tingkat I (Daswati I) Lampung.
Dari sinilah perumusan dan konsolidasi pemisahan Lampung dari Sumatera Selatan dilakukan hingga akhirnya, pada 18 Maret 1964, Lampung resmi berdiri sebagai provinsi ke-10 di Indonesia.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Lampung, Thomas Amirico, menegaskan pentingnya langkah bersama.
“Ini kolaborasi nyata antara mahasiswa, pemerhati budaya, Pemerintah Kota dan Provinsi untuk menjaga warisan budaya Lampung. Rumah Daswati adalah saksi sejarah yang harus kita pelihara,” ucap Thomas.
Ia menambahkan, pemerintah akan menelusuri status aset rumah, memastikan dokumentasi arsitekturnya, serta menyiapkan anggaran restorasi dengan pengawasan ketat dari Tim Ahli Cagar Budaya.
“Pemerintah Kota akan membentuk Tim Ahli Cagar Budaya tingkat kota untuk segera mengusulkan Rumah Daswati sebagai cagar budaya.
Selanjutnya, Provinsi Lampung dapat mengajukan ke tingkat nasional. Secara administratif juga akan kami tata agar jelas statusnya.” ungkap Asisten Bidang Pemerintahan dan Kesra Kota Bandar Lampung, Wilson Faisol,
Ketua Tim Ahli Cagar Budaya Provinsi Lampung, Anshori Djausal, menekankan pentingnya sinergi lintas daerah. Ia mencontohkan banyak situs budaya di Lampung yang kondisinya kritis, bahkan ada yang terancam hilang akibat tambang pasir.
“Rumah Daswati ini harus jadi prioritas. Kalau situs lain bisa rusak karena dibiarkan, jangan sampai pusat sejarah Lampung justru bernasib sama,” tegasnya.
Sementara Wakil Ketua Tim Ahli Cagar Budaya, Maskun, menyebut momentum ini sebagai buah perjuangan panjang.
“Sejak 2020 kami mendorong, dan hari ini terlihat nyata kepedulian semua pihak. Ini modal kuat agar Rumah Daswati segera ditetapkan sebagai cagar budaya Kota Bandar Lampung,” ucapnya penuh optimisme.
Tak hanya pemerintah dan ahli, mahasiswa pun turun tangan. Hariz Fadhila Rais, perwakilan HIMATUR, menyebut kegiatan ini bukan sekadar pembersihan area, tetapi fondasi awal peran aktif mahasiswa dalam melestarikan sejarah.
“Rumah Daswati adalah awal lahirnya Provinsi Lampung. Kami melihatnya bukan hanya sebagai situs sejarah, tetapi juga ruang edukasi, wisata, bahkan ikon kebanggaan Lampung. Karena itu, mahasiswa harus ikut menjaga,” ungkap Hariz.
Upaya mendorong Rumah Daswati menjadi cagar budaya menunjukkan kesadaran kolektif: sejarah bukan hanya untuk dikenang, tapi juga dijaga dan diwariskan.
Dengan status cagar budaya, Rumah Daswati tak hanya terlindungi secara hukum, tetapi juga bisa dikembangkan sebagai pusat edukasi sejarah, pariwisata budaya, hingga ruang pembelajaran arsitektur lokal.
Sejarah bukan sekadar catatan di buku pelajaran, tapi nyata berdiri dalam wujud bangunan. Dan Rumah Daswati kini sedang menunggu untuk kembali bersuara sebagai saksi perjuangan Lampung menjadi provinsi.***