Eks anggota dan jaringan simpatisan PKI di dalam dan luar negeri sangat marah. Munculah opini atau framing hubungan buruk antara Presiden Soekarno dan Jenderal Soeharto.
SP keluar pada bulan Maret 1966. Pidato Kenegaraan Presiden Soekarno berlangsung bulan Agustus 1966. Isinya Presiden Soekarno menyampaikan terima kasih kepada pengemban Supersemar.
Hal itu menandakan tidak ada perbedaan pandangan antara Presiden Soekarno dan Jenderal Soeharto terkait penerapan Supersemar. Bahkan terkait pembubaran PKI. Presiden Soekarno tidak menganulirnya.
Presiden Soekarno menanggung amarah publik yang sedang membara pada saat itu. Dinilai oleh publik, Presiden Soekarno terlalu melindungi PKI. Diduga hendak menyelamatkan eksistensi PKI secara politik.
Melalui prinsip mikul dhuwur mendem jero, Presiden Soekarno dilindungi oleh penggantinya, Jenderal Soeharto. Presiden Soekarno tidak diadili atas dugaan keterlibatan G30S/PKI.
Sultan HB IX bahkan tidak sabar. Ingin secepatnya menyingkirkan Presiden Soekarno dari kekuasannya. Hal itu terdokumentasi melalui buku memoar berjudul “Kemal Idris, Bertarung Dalam Revolusi”.
Melalui buku itu, halaman 252, Kemal memberikan testimoni kesejarahannya.
“Saya masih ingat, pada tahun 1966, ipar saya Widjatmiko datang ke Kostrad mengabarkan bahwa saya dipabggil Sri Sultan Hamengku Buwono IX di rumah mashuri di Jalan Agus Salim Jakarta.
Di sana sudah menunggu Sri Sultan, Adam Malik, dan Mashuri.
‘Kemal, Kamu take over, ambi alih kekuasaan dari tangan Soeharto,’ ujar Sri Sultan.
Soeharto dinilai terlalu lamban dalam mengambil keputusan-keputusan. Saya terperanjat. Saya tidak berfikir ke arah itu.
Barangkali, itu jugalah sebabnya, sikap Pak Harto kepada saya menjadi dingin. Dia tidak sebaik dan semesra dulu terhadap saya. Dia termakan bisikan-bisikan, sehingga mencurigai saya”.
Itulah gambaran situasi pada masa-masa itu. Presiden Soekarno menjadi musuh bersama pasca 1965. Bahkan Sri Sultan hendak menyingkirkan Jenderal Soeharto.
Karena lamban dalam mengambil sikap. Khususnya dalam “menyingkirkan Presiden Soekarno”.
Jenderal Soeharto bersikukuh mikul dhuwur mendehem jero. “Bagaimana citra bangsa ini jika proklamatornya diperlakukan buruk oleh bangsanya sendiri”.
Itulah yang dipikirkan Jenderal Soeharto. Hingga akhirnya Presiden Soekarno diberhentikan oleh MPRS dari jabatannya.
Jenderal Soeharto kemudian menjadi penggantinya. Memimpin lebih dari tiga dekade. Pada masa reformasi, ia dipersalahkan atas peristiwa 1966 itu.
Akan tetapi dokumen-dokumen sejarah selalu hadir memberi pledoi.
ARS (rohmanfth@gmail.com), Jaksel, 14-03-2023