Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Percakapan publik kita kerap memperdengarkan klaim bahwa “NU dikuyo-kuyo sepanjang Orde Baru (Orba)”. Klaim ini sekilas terasa meyakinkan: pembatasan politik, fusi partai, hingga kontrol negara terhadap Islam menjadi bukti nyata.
Namun, ketika kita membaca sejarah lebih dalam dengan ketenangan dan ketelitian relasi antara NU dan negara pada masa itu ternyata jauh lebih kompleks. Ia tidak sesederhana relasi antagonistik, melainkan penuh lapisan: ada kedekatan kultural, negosiasi politik, dan keterbatasan struktural yang bekerja bersamaan.
1. Jejak Non-Kooperasi dan Konsekuensi Struktural
Sejak masa kolonial, para kiai NU memilih sikap non-kooperatif: menolak sekolah Belanda dan mempertahankan pendidikan pesantren. Sikap ini bukan sekadar moral, tetapi juga politis.
Data kolonial mencatat, pada 1930-an lebih dari 90 persen pegawai administrasi pribumi adalah lulusan sekolah formal kolonial (HIS, MULO, AMS) bukan pesantren. Karena itu, ketika Indonesia merdeka dan membutuhkan birokrat modern, lulusan pesantren tidak berada dalam jalur rekrutmen tersebut.
Konsekuensi ini sering luput dari pembacaan sejarah. NU tidak menjadi pemasok utama SDM birokrasi bukan karena ditekan, melainkan karena secara historis mereka berada di luar sistem pendidikan formal kolonial yang membentuk struktur birokrasi modern. Pilihan non-kooperasi itu benar secara moral, tetapi membawa dampak struktural jangka panjang.
2. Transformasi Pendidikan Islam di Era Orde Baru
Kritik terhadap kontrol politik Orde Baru sering membuat kita lupa bahwa rezim ini juga membuka ruang bagi transformasi pendidikan Islam.
Melalui SKB Tiga Menteri (1975), madrasah (MI, MTs, MA) disetarakan dengan sekolah umum. Kemudian pada 1980-an, Departemen Agama mendirikan Madrasah Aliyah Model (MAM) sebagai madrasah unggulan yang menggabungkan kurikulum agama dan umum.
Jumlah madrasah pun melonjak drastis: dari sekitar 13.000 pada awal 1970-an menjadi lebih dari 36.000 pada awal 1990-an. Kebijakan yang tampak teknis dan sunyi ini melahirkan generasi santri baru—fasih kitab kuning sekaligus akrab dengan fisika, matematika, dan bahasa asing. Dari sinilah lahir kelas menengah terdidik NU yang kemudian tampil di era Reformasi.
3. Struktur Politik dan Keterbatasan Kekuasaan
Pada masa Orde Baru (1966–1998), sistem politik didesain dalam logika konsensus yang tertutup. Penyederhanaan partai dan kebijakan floating mass (1971–1985) melarang organisasi keagamaan melakukan aktivitas politik di akar rumput.
Dalam situasi seperti ini, NU dengan puluhan juta anggota tetap tidak bisa mengonversi massa-nya menjadi kekuatan politik. Ini bukan karena negara membenci NU, melainkan karena desain politik Orde Baru memang menutup akses politik bagi semua kelompok berbasis massa.
4. Gus Dur dan Strategi Negosiasi Moral
KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sering dibaca sebagai simbol oposisi terhadap Orde Baru. Namun, jika dicermati lebih dekat, terdapat dualitas menarik. Di satu sisi ia lantang berbicara tentang demokrasi dan kebebasan sipil; di sisi lain, ia beberapa kali bertemu Soeharto secara pribadi dan memiliki akses informal ke lingkar elite.
Kritiknya bukan bentuk permusuhan total, melainkan strategi negosiasi moral dan struktural. Dalam rezim otoriter, suara oposisi justru bisa menjadi jalan untuk bernegosiasi dari dalam. Gus Dur memahami logika ini dan memainkannya dengan cerdas sebuah perpaduan antara moralitas pesantren dan kecerdasan membaca struktur kekuasaan.
5. Reformasi dan Munculnya Kelas Menengah Santri
Jika pada masa Orde Baru NU tampak jauh dari kekuasaan, maka pada era Reformasi (1998–sekarang) NU terlihat sangat dekat dengan pusat politik. Fenomena ini sering ditafsirkan sebagai “NU kini haus kekuasaan”. Padahal, kedekatan itu merupakan konsekuensi logis dari transformasi pendidikan yang berlangsung sejak 1970-an.
Data Kemenag dan BPS menunjukkan, jumlah lulusan madrasah dan perguruan tinggi agama Islam meningkat dari sekitar 160.000 (1990) menjadi 700.000 (2010). Generasi baru NU muncul: para sarjana, magister, doktor, bahkan profesor kelas menengah santri yang kemudian masuk birokrasi, kampus, partai politik, dan lembaga negara.
Selain itu, perubahan sistem politik pasca-reformasi ke model proporsional terbuka memberi ruang lebih luas bagi jaringan sosial pesantren. Dengan basis massa 40–50 juta warga (berdasarkan berbagai survei), kader NU menjadi magnet politik yang signifikan.
Keterlibatan mereka dalam pemerintahan bukan karena NU berubah menjadi haus kekuasaan, melainkan karena struktur sistem politik kini justru membutuhkan massa besar yang dimiliki NU.
Penutup
Perjalanan NU dari masa Orde Baru hingga Reformasi bukanlah kisah organisasi yang tertindas lalu tiba-tiba bangkit. Ia adalah sejarah panjang tentang pilihan moral, adaptasi struktural, transformasi pendidikan, dan perubahan sistem politik yang memberi ruang berbeda dari masa ke masa.
NU bukan sekadar “korban” atau “pemenang”, melainkan cermin dinamika bangsa: selalu bernegosiasi antara nilai, realitas, dan kekuasaan.
— ARS, Jakarta (rohmanfth@gmail.com)









