WAWAINEWS.ID – Waktu menunjukkan hampir pukul 12 malam waktu Saudi. Seharusnya mereka sudah berada di Arafah, bersiap menjalani puncak ibadah haji wukuf. Namun malam itu, yang mereka dapati justru ketidakpastian dan kelelahan.
Jemaah haji Indonesia masih menunggu dalam ketidakpastian. Lantai lobi hotel menjadi tempat beristirahat, bukan tenda-tenda putih seperti seharusnya.
Di lantai dingin sebuah lobi hotel di Mekkah, puluhan jemaah calon haji asal Indonesia tampak berjejal. Sebagian rebahan, sebagian lainnya duduk bersandar ke dinding, menatap kosong ke depan.
“Harusnya sudah diangkut sejak sore untuk wukuf. Sekarang hampir jam 12 malam masih menunggu di lobi,” ujar Dewi, salah satu jemaah, dalam pesan yang dikirimkan ke pada Rabu (4/6) malam.
Dewi tak sendiri. Ia bersama ratusan jemaah dari berbagai daerah di Indonesia, Surabaya, Palu, Bekasi, hingga Medan menghadapi kekacauan logistik yang memprihatinkan.
Sebagian dari mereka yang lebih dulu berangkat ke Arafah pun ternyata tidak lebih beruntung.
Tenda yang Tak Kunjung Datang
Di Arafah, kondisi tak kalah menyedihkan. Jemaah yang sudah tiba justru menemukan tenda yang sempit, atau bahkan tak ada tenda sama sekali. Mereka duduk bersila di tanah, beralaskan karpet tipis atau tanpa alas. Padahal suhu siang di Arafah bisa mencapai lebih dari 40 derajat Celsius.
“Orang-orang sepuh begini tanpa tenda di Arafah, bagaimana ceritanya?” tanya Dewi getir.
Ketua kloter yang semestinya menjadi garda terdepan pengaturan logistik—kini lemas dan kewalahan. Di tengah kebingungan, mereka harus memilih: tetap tinggal di hotel menunggu kejelasan, atau mengambil risiko berangkat tanpa jaminan tempat berlindung.
Sebagian akhirnya memilih jalan kedua.
“Saking putus asa, ada ketua kloter yang ambil risiko tetap memberangkatkan jemaah ke Arafah karena bus sudah tersedia,” jelas Dewi.
Namun sesampainya di Arafah, harapan kembali pupus. Tak ada tenda, tak ada fasilitas memadai. Mereka yang renta, yang datang untuk beribadah dengan sepenuh hati, harus menahan lelah dan panas tanpa tempat berteduh.
Ketakutan Kehilangan Arafah
Hari itu adalah 9 Zulhijah hari yang sangat ditunggu oleh jutaan umat Islam di seluruh dunia. Wukuf di Arafah adalah inti dari ibadah haji. Sebuah momen sakral yang dalam Islam disebut sebagai “haji itu adalah Arafah.”
Namun ketakutan mulai merayap di benak para jemaah Indonesia: bagaimana jika mereka tidak sampai tepat waktu? Bagaimana jika kesempatan sekali seumur hidup ini terlewat karena buruknya koordinasi?
“Semua jemaah takut besok kehilangan Arafah,” ujar Dewi dikutip dari CNN Indonesia.
Masalah tak berhenti di Arafah. Dewi memperingatkan, masalah yang lebih besar justru menanti di Mina. Kapasitas tenda di sana jauh lebih kecil dibandingkan Arafah, sementara arus jemaah tak berkurang. Jika tak segera diatasi, kekacauan bisa berulang—atau bahkan memburuk.
Diamnya Para Penanggung Jawab
Hingga Kamis pagi waktu Indonesia, belum mendapatkan jawaban dari pejabat terkait, termasuk Kepala Daker Mekkah, Satgas Armuzna, maupun Dirjen Penyelenggaraan Haji dan Umrah Kementerian Agama.
Sementara itu, ratusan jemaah masih menunggu. Di lobi hotel, di padang Arafah, di antara tumpukan koper dan ransel, mereka tetap bertahan dengan sabar, dengan harap, dengan doa.
Karena bagi mereka, ibadah haji bukan sekadar ritual. Ini adalah cita-cita spiritual yang diperjuangkan bertahun-tahun. Tak sedikit yang telah menabung seumur hidup untuk bisa mencapainya. Maka, ketika kenyataan tak sesuai harapan, kecewa adalah hal yang tak terhindarkan.
Namun di balik kekecewaan itu, ada keteguhan. Ada tekad kuat yang masih bertahan di antara ratusan pasang mata yang lelah namun tak menyerah.
“Kami ke sini bukan untuk dimanjakan,” ujar salah satu jemaah. “Kami ke sini untuk beribadah. Tapi tolong, perlakukan kami dengan layak.”.***