Satu yang paling fundamen dan mendesak bagi seluruh rakyat Indonesia, negara harus mampu menghadirkan kehidupan negara yang berlandaskan pada Ketuhanan Yang Maha Esa, budaya welas asih dan gotong royong.
Tak cukup menjamin kehidupan beragama yang toleran, terbuka dan inklusif, negara juga perlu menghadirkan rasa keadilan sosial bagi semua anak bangsa, tanpa diskriminasi, hegemoni dan dominasi pada keberagaman suku, agama, ras dan antar golongan.
Baik dalam persamaan hak dan kewajiban secara sosial, budaya, politik, ekonomi, hukum, dan keamanan.
Tak ada lagi yang miskin semakin miskin dan yang kaya semakin kaya, tak ada lagi yang kuat menindas yang lemah dan yang lemah semakin teraniaya.
Tak ada lagi intervensi, represi, dan kriminalisasi oleh rezim kekuasaan kepada siapapun rakyat yang menyuarakan kesadaran kritis dan upaya perbaikan kehidupan negara dan bangsa.
Seperti kecenderungan rakyat sejauh ini yang sudah semakin skeptis, apriori, dan antipati pada negara dan sebagian besar aparatur pemerintahan.
Tak ada kemakmuran dan keadilan, tak ada negara kesejahteraan bagi rakyat sepanjang usia kemerdekaan dan negara terus berdiri.
Betapa miris dan malangnya rakyat Indonesia yang merindukan kemakuran dan keadilan di negerinya.
Rakyat seperti tak pernah sejatinya menikmati kekayaan alam dan semua keberlimpahan sumber daya yang ada di persada Indonesia sebagai karunia ilahi.
Negara bangsa ini seperti telah kehilangan hidayah, rahmat dan ridho Allah.
Merangkak terseok-seok, berusaha menggapai sinergi dan elaborasi antara ketaqwaan pada Allah dan kesalehan sosial. Bagaikan pungguk merindukan bulan, berharap mengais sosialisme dalam makna Idul Adha.
Munjul-Cibubur, 11 Dzulhijah 1443/10 Juli 2022.***