Scroll untuk baca artikel
Opini

Menghidupkan Perlawanan Dalam Kekuatan Spiritual

×

Menghidupkan Perlawanan Dalam Kekuatan Spiritual

Sebarkan artikel ini
Yusuf Blegur
Yusuf Blegur

Oleh: Yusuf Blegur

Rakyat Indonesia dan umat Islam, berhentilah menikmati kesengsaraan dan penderitaan hidup. Kekerasan, pemenjaraan dan bahkan pembunuhan, bukan lagi sekedar bentuk kedzoliman penguasa yang harus dilawan. Lebih dari itu menjadi tanggungjawab kemanusiaan sebagaimana amanat dari keyakinan spritualitas dan keagamaan.

Scroll untuk baca artikel

Seandainya saja penggunaan kekuatan dan memaksakannya pada orang lain dapat menjadikan seseorang atau sekelompok tertentu merasa hebat dan luar biasa. Pemikiran dan tindakan yang seperti itu merupakan kesalahan besar dan menunjukkan kelemahan sejatinya.

Tentu saja, kekuasaan yang menggunakan kekerasan, pemenjaraan dan pembunuhan sekalipun, sesungguhnya tidak akan membuat pelakunya dapat merendahkan, melemahkan dan melenyapkan semangat perlawanan yang ditimbulkannya. Pelakunya secara perorangan ataupun berkelompok, betapapun terorganisir dan sistematik, tak akan menjadikannya sebagai suatu kejayaan atau superior atas yang lain, apalagi untuk selama-selamanya.

Sejarah akan selalu dikenang, dipelajari dan diambil hikmahnya. Bahwasanya di dunia ini menegaskan kejahatan tetaplah merupakan kejahatan dan kebenaran tetaplah kebenaran. Keduanya sesuatu yang terpisah yang tidak bisa dicampuradukkan satu sama lainnya.

Dalam banyak peradaban manusia, keduanya justru saling berhadapan, bertentangan dan menjadi konflik yang selalu mengiringi perjalanan hidup manusia.

Dunia tidak akan bisa menghapuskan hikayat perjuangan Islam dengan perjuangan para Nabi dan Rasul yang menegakkan kebenaran dan memerangi yang munkar seperti yang digambarkan Al Quran sebagai petunjuk dan pembeda.

Islam dengan Al Quran dan sunah menjadi salah satu kiblat yang menuntun kehidupan manusia secara integral dan komprehensif termasuk dalam menyikapi soal-soal yang hak dan batil dalam kehidupan umat manusia. Begitupun setelah masa itu, dunia terus diselimuti konflik dimana pertarungan kebenaran dan kejahatan masih berlangsung hingga saat ini.

Jejak dan lembaran catatan tragedi saat manusia bergumul diantara kebenaran dan kejahatan itu, masih tersimpan meski dunia memasuki era modern.

Dalam buku dan pesan moral, nilai-nilai dan etika sosial bahkan hingga dilestarikan dalam monumen dan museum, empiris itu tetap ada menjadi sejarah dan yang dapat dipelajari generasi sekarang dan masa depan.

Dalam episode panjang dan dramatis, kehidupan umat manusia akan selalu menemui gejolak dalam interaksi dan pergaulan sesamanya. Meski ada otoritas dan regulasi yang mengatur arus kepentingan individu dan komunitas, persinggungan rawan konflik yang memunculkan hegemoni dan dominasi antara satu dengan yang lainnya, antara kelompok dan kelompok lainnya.

Bahkan pada ras dan agama satu bangsa kepada ras dan agama bangsa lainnya. Ketika itu terjadi dan memuncak, maka realitas sosial hanya akan melahirkan pertarungan antara yang kuat dan lemah, yang menindas dan ditindas serta api semangat perlawanan kaum marginal terhadap kekuasaan yang tak pernah padam.

Kejahatan Atas Nama Negara dan Berlindung Dalam Jabatan

Di manapun di belahan dunia yang lain, akan selalu ada distorsi penyelenggaraan negara. Pertumpahan darah, kebiadaban dan tragedi kemanusiaan kerapkali mewarnai kebijakan penguasa atas rakyat yang dikendalikannya. Kenikmatan berkuasa atas kemewahan hidup yang diliputi kekayaan harta dan jabatan, melulu menghasilkan rezim korup dan represif. Mengabaikan kondisi rakyat yang dirampas kelayakan hidupnya, dan memberangus setiap kesadaran kritis dan upaya-upaya menentang rezim penindas.

Saat negara yang dibajak dan dipakai oleh sekelompok orang dan kepentingan tertentu, seperti perzinahan politik pejabat dan pengusaha. Maka bisa dipastikan rakyat hanya akan menjadi sapi perahan dan korban eksploitasi yang terus menerus, hingga ketidakberdayaan dan kematian datang.

Tidak ada aturan, tidak ada norma, dan tidak ada hukum yang berlaku. Hanya ada ambisi dan tujuan menguasai dunia dan menikmati sebebas-bebasnya dan selama-lamanya. Kekuasaan tirani yang otoriter dan diktator itu hanya akan menggunakan logika dan bahasa kekuasaan. Seperti telah bersekutu dengan syetan, tak ayal lagi nafsu angkara itu mewujud orang-orang seperti Firaun atau Raja Ramses, Abu Jahal dll semasa jaman kenabian. Juga ada Mao Zedong, Joseph Stalin, Adolf Hitler, Musolini, Pol Pot dll. yang menjadi musuh kemanusiaan di masa lalu.

Tak terkecuali Indonesia sendiri, gejala itu ada dan semakin nyata menampilkan kekuasaan gelap yang menyandera negara. Terlebih selama tujuh tahun lebih, ketika rezim pemerintahan tidak sekedar korup, rakus dan bengis.

Pemimpin dan pejabat negara yang telah menjadi budak kapitalisme global, tidak hanya menyasar pada kekayaan sumber daya alam semata. Birokrat hipokrat yang fasis itu juga mulai meniadakan keberadaan dan peran agama serta melakukan pendangkalan aqidah umat Islam seraya mengumbar liberalisasi dan sekulerisasi.

Kekerasan,
kriminalsasi dan pembunuhan mulai marak dipertontokan secara telanjang di hadapan publik. Tidak sekedar melakukan “shock terapy” dalam membungkam kesadaran kritis dan perlawanan terhadap penyimpangan kebijakan aparatur pemerintahan.

Rezim otoriter ini juga terang-terangan “show of force” kepada rakyatnya yang pemilik kadaulatan negara dan telah memberikan mandat pada begundal-begundal kekuasaan itu.

Tidak, rakyat tidak lemah dan rakyat tidak dalam ketidakberdayaan. Rakyat tidak lemah hanya karena harus berhadapan dengan uang, senjata, dan segelintir penjahat yang menguasai negara dan berlindung di balik jabatan. Perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia yang, peristiwa heroik Surabaya melawan kekuatan fasis dunia dan semua perlawanan rakyat yang dalam banyak keterbatasan itu, mampu menumbangkan kekuasaan dan rezim laknat. Rakyat diam tertindas buksn berarti diam tak melakukan perlawanan.

Betapapun kekerasan menghujam, darah telah bercucuran dan mayat bergelimpangan meregang nyawa oleh rezim lalim dan dzolim. Rakyat tak akan pernah berhenti dan lenyap kehadirannya, mati satu tumbuh seribu menyuburkan kesadaran kritis dan perlawanan. Pembangkangan, pemberontakan, dan mungkin saja api revolusi akan menyala seiring waktu.

Hanya tinggal menunggu momentum yang tepat. Rakyat Indonesia dan umat Islam tak pernah mengenal kata lemah dan kalah, hanya menunggu waktu dan melakukan konsolidasi yang mewujud “people power” dan aksi massa yang dahsyat.

Sembari mengimani spiritualitas yang tertuang dalam Al Quran dan sunah, yang memberi pelajaran prinsip dan mendasar tentang hakikat “menegakkan amar ma’ruf nahi munkar”. Dengan jihad fisabilillah umat Islam, atau dengan kata lain dalam bahasa nasionalisme dan patriotisme berupa rela berkorban demi nusa dan bangsa.

Kekuatan yang bersemayam spiritualitas dan keagamaan di dalamnya, rakyat Indonesia terbukti dan teruji tak takut berjuang sampai titik darah penghabisan.

Tentunya, dengan kesadaran penuh, ikhtiar dan tawaqal bahwasanya Allah aza wa jalla akan membersamai perjuangan rakyat tertindas dalam menegakkan kebenaran dan keadilan.

In syaa Allah.***