TANGGAMUS — Program Makanan Bergizi (MBG) yang digadang-gadang untuk menyehatkan anak sekolah di Kabupaten Tanggamus, justru bikin perut warga jadi “berpikir ulang”.
Bukan karena kenyang, tapi karena bau sangit yang menusuk dan lauk gosong yang bikin selera makan ikut terbakar.
Keluhan datang dari wali murid SMP Negeri 2 Wonosobo, Kecamatan Wonosobo. Mereka menilai makanan dari dapur MBG di Pekon Dadimulyo bukan cuma tidak layak konsumsi, tapi juga bikin iba melihat anak-anak makan sambil menahan rasa.
“Saya bilang ke pihak sekolah, tolong Bu, sebelum dibagi ke anak-anak, cek dulu makanannya. Kalau sudah gosong begitu, ya jangan diterima. Masa anak-anak disuruh makan rasa arang?” ujar seorang wali murid dengan nada kesal, Senin (3/11/2025).
Dalam beberapa hari terakhir, wali murid mengaku anaknya dan sejumlah siswa lain pulang ke rumah dengan wajah kecewa bukan karena nilai jelek, tapi karena menu “unik” dari dapur MBG.
Ada tempe sangit, telur dadar gosong, kacang panjang layu, dan labu siam yang tampak kurang segar.
“Kasihan anak-anak Bu. Sudah lapar, disuguhi makanan kayak gitu. Saya sudah WA ke guru, kalau sekolah nggak bisa bertindak, saya yang akan bertindak!” tegas wali murid itu lagi.
Salah satu guru membenarkan keluhan tersebut. Ia bahkan mengaku sudah menyampaikan ke kepala sekolah bahwa makanan MBG kali ini memang tidak pantas disebut bergizi.
“Tempenya keras, telur gosong, sayurnya nggak segar. Banyak anak yang nggak makan. Akhirnya ya dibuang,” kata guru itu lewat pesan WhatsApp yang dibacakan ulang oleh wali murid.
Pihak sekolah berjanji akan menindaklanjuti laporan tersebut ke penanggung jawab dapur MBG di Pekon Dadimulyo.
Namun di lapangan, keluhan tidak berhenti di rasa. Warga sekitar dapur MBG juga sempat mengeluh soal bau limbah dapur yang menyengat dan tak kalah “menggugah selera”.
Pj Kepala Pekon dan Kepala Dusun bahkan sempat melayangkan protes resmi karena bau masakan dan sisa bahan dapur mencemari lingkungan.
“Anak sekolah kena gosongnya, warga kena baunya. Lengkap sudah gizi versi MBG,” ujar seorang warga sambil tertawa getir.
Saat dikonfirmasi, Ardi, perwakilan mitra SPPG, mengakui adanya keluhan. Ia berjanji akan menyampaikan hal itu kepada penyelenggara utama SPPI.
Namun, ia menegaskan bahwa urusan masak-memasak bukan tanggung jawabnya.
“Kami hanya menyiapkan tempat, peralatan, dan perlengkapan dapur. Untuk pengelolaan makanan itu tanggung jawab SPPI,” jelas Ardi.
Soal limbah?
“Sudah kami tangani, kok. Setelah warga protes, kami langsung berbenah,” ujarnya lagi, seolah menepis aroma gosong dengan janji segar.
Program MBG di Tanggamus memang lahir dari semangat mulia: menyehatkan anak-anak sekolah lewat makanan bergizi.
Namun sayangnya, di banyak titik, “bergizi” justru berubah jadi “beraroma gosong dan berpotensi frustrasi.”
Masalah kualitas makanan bukan sekadar soal rasa, tapi soal tanggung jawab publik dan integritas pengelolaan anggaran negara.
Ketika program bernama “Makanan Bergizi” justru menghasilkan makanan yang tidak layak konsumsi, pertanyaannya bukan lagi siapa yang masak, tapi siapa yang mengawasi.
Program MBG seharusnya bukan proyek “asal kenyang dan asal cair”, tapi program yang menjamin hak anak-anak untuk tumbuh sehat bukan jadi korban percobaan rasa arang.
Jika dapur bergizi dikelola dengan semangat tender, bukan dengan hati nurani, maka hasilnya bukan makanan sehat, melainkan makanan beraroma anggaran.
“Kalau anak-anak makan nasi gosong, jangan heran kalau masa depannya ikut berasap.”
(RUSLAN – Wawai News) ***













