Opini

Menyoal Pelayanan Administrasi Kependudukan Transgender

×

Menyoal Pelayanan Administrasi Kependudukan Transgender

Sebarkan artikel ini
Yusuf Blegur
Yusuf Blegur

Oleh : Yusuf Blegur

Fenomena transgender pada beberapa artis seperti Dorce Gamalama, Lucinta Luna dll. belum bisa ditempatkan sebagai gejala umum yang bisa dijadikan dasar perlunya pemerintah mengeluarkan regulasi terkait itu. Trend artis yang melakukan transgender itu berbeda dengan Aprilia Manganang atlit voli nasional yang dinyatakan sebagai lelaki. Aprilia Manganang yang dikenal sebelumnya sebagai seorang atlit perempuan dan kini menjadi prajurit TNI AD, dinyatakan mengalami kelainan medis berupa hispopadia yaitu kelainan bentuk kelamin yang kerap dialami bayi laki-laki saat dilahirkan.

Mengacu pada UU No. 24 Tahun 2013 juncto UU No. 23 Tahun 2006 tentang Adminduk bahwa semua penduduk WNI harus didata dan harus punya KTP dan Kartu Keluarga agar bisa mendapatkan pelayanan publik dengan baik, misalnya BPJS dan bantuan sosial.
Seperti yang tertuang pada laman berita Dirjen Dukcapil Kemeterian Dalam Negeri RI, https://dukcapil.kemendagri.go.id/berita/baca/730/dirjen-dukcapil-tidak-ada-kolom-jenis-kelamin-transgender-di-ktp-el.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

kebijakan administrasi kependukan termasuk bagi komunitas transgender sudah ditetapkan Dirjen Dukcapil Kementerian Dalam Negeri RI. Maka tidak ada pilihan lain bagi jajaran pemerintahan terkait dibawahnya untuk meneruskan aturan itu sampai ke tingkat teknis.

Namun ada beberapa hal yang prinsip yang perlu ditelaah kembali menyangkut persoalan sosiologis dan kemanusiaan itu. Terutama penentuan perubahan jenis kelamin yang nanti terdata dalam KTP dan Kartu Keluarga. Seiring itu dasar hukum turunanya juga harus diperhatikan seperti keputusan pengadilan agama yang sudah incracht dan UU perkawinan.

BACA JUGA :  Ilusi Memberhentikan (Memakzulkan) Jokowi dari Jabatan Presiden?

Mengapa persoalan transgender menjadi penting untuk dibahas?. Karena bukan hanya terkait soal pelayanan administrasi kependukan saja, namun ada aspek sosial budaya dan sosial hukum yang melingkupinya.

Pertama, sangat disayangkan kebijakan itu seperti tidak transparan, tidak melalui proses pelibatan institusi dan lembaga representatif yang berwenang dan kompeten, sosialisasi yang luas dan menyediakan ruang pendapat, saran dan masukan dari masyarakat menyangkut isu transgender. Bahkan seharusnya ada fatwa ulama yang mendasari boleh atau tidaknya aturan itu berlaku.

Sejauh ini kita belum tahu apakah MUI dan kelembagaan keagamaan lain, Organisasi Seperti NU Muhamadiyah, dan sejenisnya lintas agama, maupun para ulama, tokoh pendidikan, para pakar sosiologis dan para ahli pendidikan, psikologi, kebudayaan dsb. sudah dilibatkan.

Selain itu akomodasi pelayanan hak-hak kewarganegaraan, tidak boleh serampangan dan begitu mudahnya dikeluarkan pemerintah. Sama halnya dengan isu lain semisal legalisasi ganja dan jenis narkotika lain, lokalisasi perjudian dan pekerja seks komersil dan LGBT, penerapan gaya hidup seks bebas dll. Pemerintah harusnya lebih jeli dan hati-hati menerapkan kebijakan yang dituangkan dalam UU. Harus bisa melewati dan memenuhi unsur kearifan budaya dan keagamaan masyarakat. Apalagi terkait peraturan administrasi transgender ini bisa menjadi pintu masuk berlakunya perilaku LGBT dan kehidupan seks bebas.

BACA JUGA :  Kuali Besar

kedua, mutlak harus ada analisa dan kajian tentang apakah produk aturan itu lebih banyak membawa kemaslahatan atau malah menimbulkan kemudharatan yang luas di masyarakat. Jangan sampai kemudahan penerapan sistem yang bersumber dari konsep liberalisasi dan sekulerisme barat itu, menghancurkan ketahanan sosial dan budaya bangsa. Tidak semua produk globalisasi itu bisa diterima adab ketimuran dan ditelan mentah-mentah oleh regulasi kebijakan pemerintah.

Melihat masih berlakunya kebijakan otonomi daerah. Pemerintah daerah mulai dari provinsi hingga kota dan kabupaten. Jika menyimak lebih jauh dan menyelami persoalan lebih dalam secara substansi, maka pemerintah daerah dan unsur masyarakat bisa menolak dan mendorong pembatalan aturan tersebut kepada pemerintah pusat dalam hal ini dirjen dukcapil. Kalau ternyata diskursusnya menemukan persoalan trangender lebih kuat pada adanya indikasi penyakit sosial atau penyimpangan perilaku apalagi menjadi polarisasi kehidupan seks bebas. Sangat memungkinkan melalui masyarakat dan otoritas terkait bisa meninjau kembali aturan administrasi transgender tersebut. Jangan sampai juga jika dibiarkan terus dampaknya lebih luas dalam negara yang mayoritasnya umat Islam ini.

BACA JUGA :  Warga Lamteng Sekarang Bisa Urus Adminduk Via Android

Apakah fenomena transgender ini hanya terjadi kasuistik atau bisa menjadi trend dalam dinamika sosial masyarakat. Dikhawatirkan transgender akan menjadi persoalan jika bertransformasi menjadi perilaku yang menyimpang dari aspek sosial lazimnya. Keinginan melakukan perubahan status kelamin bukan pada persoalan semata kebutuhan seseorang yang didorong oleh faktor psikologis-fisik, pertumbuhan dan perkembangan hormon seksualitas, maupun pengaruh lingkungan dan pendidikan yang menjadi pranata sosialnya. Semua kondisi itu memang menjadi bagian dari proses naluri dan alami yang terjadi pada tertentu berlakunya proses transgender.

Melainkan menjadi persoalan serius tatkala proses trangender menjadi disfungsi dan penyakit sosial pada seseorang. Jika itu terjadi, pada akhirnya transgender menjadi gaya hidup dan bertentangan dengan norma-norma sosial dan keagamaan. Terlebih pada konsep Islam yang ketat dan tegas bertentangan dengan transgender. Sehingga regulasi UU transgender itu dapat dikaitkan sebagai upaya melegalisasi apa yang dilarang dalam agama Islam. Dalam dinamika dan eskalasi tertentu, bisa jadi memunculkan asumsi publik ini menjadi bagian dari proses deislamisasi, mengingat transgender dan LGBT bertentangan dan dilarang dalam ajaran Islam.

Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari