LAMPUNG – Pelaku pencabulan terhadap anak di bawah umur bisa diancam pidana seumur sesuai dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Dalam Pasal 81 Ayat (3) disebutkan dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan orang tua, wali, pengasuh anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dengan ancaman pidana maksimal 15 tahun penjara.
Hal itu diungkapkan Ketua Komnas Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait terkait pencabulan dengan terlapor oknum di Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur berinisial DA dengan korban berinisial NF (14).
“Sudah menjadi korban, dikorbankan lagi. Ini perbuatan biadab dan di luar nalar, itu bisa seumur hidup (20 tahun),” ujarnya sebagaimana dilansir dari Lampung Post, Senin, 6 Juli 2020 .
Oleh karena itu, Komnas PA mendesak Polda Lampung agar segera menindak tegas pelaku. “Kami mendorong aparat agar segera memeriksa, menangkap, dan menahan pelaku,” katanya.
Pihaknya juga akan berkoordinasi dengan Pemkab Lampung Timur agar segera mengambil tindakan terkait polemik tersebut. Apalagi terkait proses rekrutmen P2TP2A.
“Kami bakal koordinasi dengan bupati,” ujarnya.
Sebelumnya diketahui Kabupaten Layak anak dan Desa ramah anak yang ada di Kabupaten Lampung Timur tercoreng oleh perbuatan bejat oknum petugas P2TP2A kabupaten Lampung Timur, berinisial DA .
DA diduga melakukan pencabulan terhadap seorang anak bernama NV (14) korban kasus perkosaan yang didampinginya. Bahkan dia tega menjual korban kepada pria hidung belang disinyalir seorang ASN dilingkungan pemerintah setempat.
Kasus ini terbongkar setelah Tim Advokasi Kelompok Rentan anak dan Perempuan (AKRAP) beserta beberapa wartawan yang tergabung di Ikatan Wartawan Online (IWO) Lampung Timur mendapatkan informasi adanya kejangalan pada kasus yang sedang dihadapi oleh korban.
Tim bertemu dengan Korban dan orangtuanya yang didampingi oleh beberapa warga, korban lantas berterus terang tentang kekecewaannya lantaran kasus yang menimpanya mandek dan hanya satu pelaku yang di proses oleh pihak kepolisian Polres Lampung Timur.
Berikut penuturan Korban NV dan Orangtua Korban S, ketika di wawancarai oleh Tim saat Korban dan orangtuanya datang ke Kantor IWO Lampung Timur, Minggu, 05/07/2020.
Pada saat proses pelaporan ke Unit PPA Polres Lampung Timur, korban mengaku di arahkan berdamai oleh salah seorang Polwan.
“waktu laporan di Polres itu saya di bilangin sama polwan namanya F , Katanya ini tidak usah diteruskan, damai aja jadikan uang, lalu waktu mau pulang saya di kasih uang sebesar 2 juta oleh DA dan rekannya RM” ujar NV.
Diduga uang 2 juta yang diberikan oleh DA ke Korban sebagai kompensasi agar kasus yang sedang ditangani tidak dilanjutkan.
Kata NV setelah itu dirinya diminta tinggal dirumah DA dengan alasan sebagai pengamanan, pengakuan NV saat tinggal di rumah aman itulah Korban diruda paksa oleh DA untuk melayani nafsu bejadnya.
” tinggal disana 1 bulan , dan pak DA sekali melakukan itu” kata NV
Masih kata korban, DA bila datang ke rumah orangtua korban di Labuhanratu juga selalu menyetubuhinya,
“Seingat saya 5 kali yang terakhir malam senin (28/06) pak DA nginap dan melakukanya 4 kali” ungkapnya.
Selain DA, Korban mengaku diminta oleh RM juga anggota P2TP2A Lampung Timur untuk menghubungi AD (Menjebak.red). setelah dihubungi korban bertemu dengan AD, lalu keduanya didatangi oleh DA dan RM.
AD ketakutan karena dituduh telah menyetubuhi anak dibawah umur, lalu ditawarkan oleh DA untuk berdamai atau dilanjutkan ke proses hukum.
”Pak DA itu yang nelpon keluarga AD mau damai atau dikasusin, disitu juga ada Anggota Babinsa (Pak Her) yang ikut musawarah di rumah pak kades simpang Danau” Kata nya
Orang tua NV mengaku di beri arahan oleh DA untuk menuntut keluarga AD agar meminta uang sebesar Rp15–20 juta, namun karena keluarga AD tidak memiliki uang dan hanya memiliki uang 4 juta dan ditambah 1 juta oleh kades untuk diberikan ke korban.
“Uang itu diberikan ke saya melalui pak carik Desa Simpang Danau , keesokan hari DA datang dan mengambil uang itu, saya dikasih 2 juta dan yang 3 juta diambilnya” Ujar S ayah NV
NV sendiri mengaku diancam oleh DA akan memotong kaki dan menyantet keluarganya apabila melawan dan tidak menuruti kemauannya.
Dugaan perbuatan bejat yang dilakukan oleh DA sangat disayangkan lantaran DA adalah anggota P2TP2A yang aktif mendampingi korban dalam proses hukum.
warga yang sudah geram dengan perbuatan pelaku bersama ketua AKRAP selanjutnya meminta bantuan hukum kepada LBH Bandar Lampung melaporkan perbuatan DA ke Polda Lampung.
Ketua AKRAP Edi Arsadad, Menyatakan bila benar apa yang menjadi dugaan warga dan pengakuan korban maka pelaku pantas mendapatkan hukuman yang berat.
“Apalagi yang menjadi terduga adalah seorang pendamping, maka bila terbukti hukumanya bisa ditambah , karena sebagai pendamping bukanya melindungi malah sebaliknya” Ujar Edi.
Oknum pejabat Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Lampung Timur berinisial DAU mendukung Polda Lampung atas dugaan pencabulan anak di bawah umur NV (14) pada Kamis (2/7).
Dari informasi yang dihimpun Geh Lampung , laporan tersebut tertuang dalam surat laporan nomor STTLP / 977 / VII / 2020 / LPG / SPKT yang tengah ditindaklanjuti oleh Direktorat Reserse Kriminal Umum (Ditreskrimum) Polda Lampung.
Kabid Humas Polda Lampung, Kombes Pol Zahwani Pandra Arsyad, mengungkapkan bahwa laporan tersebut masih dalam proses penyelidikan oleh kepolisian.
“Sudah kami tindaklanjuti, korban sudah kami mintai keterangan, untuk terlapor sudah kami kumpulkan identitasnya,” ucapnya.
Pandra menjelaskan jika penyidik PPA Polda Lampung telah melakukan penyembuhan trauma terhadap korban dugaan pencabulan tersebut.
“Sudah kita lakukan trauma penyembuhan ke korban itu oleh PPA kita. Tentunya kami bergerak cepat, saat ini kami proses, kita tunggu hasil seperti apa,” pungkasnya.
Atas tindakannya, imbuhnya, terlapor terancam gagal Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2014 Pasal 81 dengan ancaman hukuman maksimal 15 tahun penjara dan denda keselamatan paling banyak Rp5 miliar. (LP/RD24/KUMP)