TANGGAMUS — Ada pepatah bilang, “Lain ladang lain belalang, lain pekon lain aturan.” Tapi yang satu ini sungguh luar biasa. Di Pekon Kalirejo, Kecamatan Wonosobo, Kabupaten Tanggamus, Lampung, aturan tampaknya bisa diset secepat Wi-Fi tetangga yang cuma muncul pas tengah malam.
Bayangkan saja, baru sepuluh hari setelah surat peringatan pertama (SP-1) keluar, dua perangkat pekon langsung “diusir” dari kursinya. Mereka adalah Bambang Junaidi (Kasi Pemerintahan) dan Suwito (Kasi Pelayanan).
Padahal, kalau mengacu pada aturan main pemerintah, surat peringatan pertama itu masa berlakunya enam bulan. Tapi entah kenapa, Kepala Pekon Kalirejo, Suwarko, seperti tak sabar menunggu. Mungkin takut masa jabatan SP-1 kadaluarsa sebelum sempat “panen” keputusan.
Surat Peringatan Pertama dikeluarkan tanggal 3 Oktober 2025, sepuluh hari kemudian, 13 Oktober 2025, langsung terbit Keputusan Pemberhentian Nomor 17 Tahun 2025.
Belum sempat SP-1-nya dingin di printer, surat pemecatan sudah keluar. Kalau ini lomba sprint administrasi, Kepala Pekon Kalirejo jelas dapat medali emas. Tapi istilah pada pemerintah tipe pemerintah Kakon Kalirejo adalah sikap otoriter.
Lucunya lagi, dalam surat peringatan tertulis, “Surat peringatan ini berlaku paling lama enam bulan”
Tapi baru sepuluh hari, surat itu sudah kehilangan makna. Seolah SP-1 cuma formalitas biar ada pembuka sebelum “tembak langsung.”
Dalam Permendagri Nomor 83 Tahun 2015 jelas diatur, perangkat desa diberi kesempatan memperbaiki diri lewat tahapan: SP-1, SP-2, SP-3, baru kemudian pemberhentian.
Tapi di Kalirejo, tahapan itu tampaknya dianggap terlalu bertele-tele. Kepala pekon tampak lebih suka sistem “cepat saji”: langsung dari SP-1 ke surat keputusan.
Kalau sistem seperti ini diterapkan nasional, mungkin ASN yang datang telat lima menit juga bisa langsung dipecat sebelum sempat parkir motor.
Yang bikin makin menarik, surat keputusan menyebut “memberhentikan dengan hormat” tapi juga mencabut seluruh hak kedua perangkat itu. Jadi ini “hormat” yang seperti apa? Hormat di awal, tapi haknya dicabut di akhir?
Apalagi, tidak tampak ada rekomendasi dari Camat Wonosobo atau Bupati Tanggamus, sebagaimana biasanya diwajibkan oleh aturan. Mungkin Kepala Pekon Kalirejo ingin membuktikan kalau bisa “mandiri”, tanpa repot koordinasi ke atas.
Masyarakat pun jadi bertanya-tanya, apa memang secepat itu kinerja birokrasi di Kalirejo? Kalau urusan pelayanan publik bisa segesit ini, tentu warga bakal senang. Tapi sayangnya, kecepatan itu justru dipakai buat urusan “pecat-memecat”.
Barangkali, Kepala Pekon terinspirasi dari slogan zaman now. “Cepat, Tepat, dan Tancap Gas, Urusan Belakang ya Belakangan.”
Kisah di Pekon Kalirejo ini seolah jadi pelajaran penting, bahwa administrasi pemerintahan bukan balapan MotoGP. Ada aturan main, ada tahapannya, dan ada proses yang mesti dilalui.
Tapi kalau Kepala Pekon Kalirejo memang punya bakat seperti ini, cepat membuat keputusan tanpa tahapan, mungkin cocok ikut lomba “Administrasi Kilat Antar Pekon se-Kabupaten”.
Siapa tahu, nanti bisa naik pangkat jadi “Kepala Pekon Tercepat Se-Tanggamus”, dengan rekor MURI. “Pemecatan Dua Aparatur dalam 10 Hari Kerja Tanpa Pendinginan SP-1.” ***