JAKARTA — Perumda Pasar Jaya memastikan bahwa penetapan harga perpanjangan hak pemakaian tempat usaha di Pasar Pramuka dilakukan secara objektif, profesional, dan berpihak kepada pedagang.
Manajemen menegaskan, tarif yang dipatok bahkan lebih rendah dari hasil penilaian Kantor Jasa Penilai Publik (KJPP) sebuah pernyataan yang di satu sisi menenangkan, tapi di sisi lain masih membuat alis pedagang tetap naik setengah senti.
Manajer Humas Pasar Jaya, Irfan, mengatakan kebijakan ini dirancang dengan memperhitungkan dua sisi mata uang yang sama penting: keberlanjutan usaha pedagang dan keberlangsungan ekonomi pengelolaan pasar.
“Harga perpanjangan hak pakai tempat usaha di Pasar Pramuka ditetapkan di bawah nilai rekomendasi KJPP. Ini bentuk komitmen kami agar pedagang tetap bisa beroperasi dengan biaya terjangkau,” ujar Irfan dalam keterangannya, Kamis (13/11/2025).
Pernyataan itu menjadi semacam jaminan moral di tengah kekhawatiran para pedagang yang merasa biaya sewa pasca-revitalisasi melonjak bak tekanan darah di musim paceklik.
Irfan menjelaskan bahwa kebijakan harga baru ini merupakan hasil dari serangkaian forum silaturahmi formal antara pedagang, DPRD DKI Jakarta Komisi B, Kemenko Polhukam, dan Ombudsman RI lengkap dengan bumbu pertemuan bersama Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung pada 9 Oktober 2025.
Hasilnya: urusan harga dikembalikan ke Pasar Jaya dengan amanah untuk tetap patuh pada regulasi dan rasa keadilan.
Pasar Jaya kemudian menggelar diskusi lanjutan dengan para pedagang pada 14 Oktober 2025 dan secara resmi mengirim surat pemberitahuan harga final pada 20 Oktober 2025.
“Kami menyesuaikan harga untuk menjaga keseimbangan antara kelangsungan usaha pedagang dan pengelolaan pasar yang sehat secara ekonomi,” terang Irfan, dengan nada diplomatis khas perusahaan daerah yang sedang menenangkan dua kubu yang sama-sama tidak mau rugi.
Untuk meredam gejolak harga yang sempat dianggap “tidak rakyat kecil friendly”, Pasar Jaya juga menawarkan berbagai keringanan, mulai dari potongan harga (diskon) hingga fasilitas cicilan jangka panjang.
Kebijakan ini disebut sebagai kompromi elegan antara kalkulator manajemen dan kantong pedagang yang mulai tipis oleh biaya operasional.
“Langkah ini untuk menegakkan asas keadilan, keterbukaan, dan keberpihakan kepada pedagang,” ujar Irfan — kalimat yang, di atas kertas, memang terdengar menenangkan.
Pasar Jaya berharap, revitalisasi Pasar Pramuka bukan hanya soal mengecat ulang tembok dan menata kios, tetapi juga menciptakan lingkungan pasar yang lebih tertib, higienis, dan modern tanpa menghilangkan aroma kerakyatan.
“Revitalisasi ini diharapkan menjadi contoh transformasi pasar tradisional menuju pengelolaan modern tanpa meninggalkan nilai-nilai kerakyatan,” imbuhnya.
Namun di sisi lain, para pedagang masih menyimpan kegelisahan yang sama: harga sewa naik hingga empat kali lipat setelah renovasi.
Kuasa Hukum Pedagang Pasar Pramuka, Gugum Ridho Putra, menegaskan bahwa para pedagang bukan menolak pembangunan, melainkan menuntut rasionalitas dan keadilan harga.
“Intinya pertemuan dengan Pak Gubernur itu untuk negosiasi harga pasca-renovasi. Harga yang ditetapkan Perumda lebih besar dari sebelumnya, sampai empat kali lipat,” ujar Gugum di Balai Kota Jakarta, Jumat (9/10).
Menurutnya, para pedagang sudah berulang kali berdialog dengan Pasar Jaya, bahkan melapor ke Ombudsman RI karena khawatir adanya penggusuran terselubung di balik kata ‘revitalisasi’.
“Kami sudah komunikasi dengan banyak pihak. Tapi karena sudah menerima surat peringatan ketiga, pedagang jadi khawatir. Untungnya, Pak Gubernur sudah menjamin tidak akan ada penggusuran,” kata Gugum.
Kisah Pasar Pramuka kini menjadi cermin klasik dari dilema kota besar: ketika niat memodernisasi pasar tradisional berhadapan dengan kemampuan ekonomi rakyat kecil.
Pasar Jaya bicara sustainability, pedagang bicara survivability. Keduanya benar, tapi di antara keduanya, ada gap bernama “harga”.
Selama komunikasi berjalan jujur dan transparan, revitalisasi bisa jadi momentum untuk mengangkat harkat pasar tradisional ke level yang lebih profesional tanpa harus mengorbankan yang sudah lebih dulu berdagang di sana.
Untuk saat ini, publik hanya berharap satu hal sederhana: revitalisasi jangan berubah menjadi “revitalisasi untuk yang mampu saja.”***












