Di mana disebutkan bahwa dari anggaran yang disalurkan pemerintah pada Balai Latihan Kerja (BLK) di Bandung, Sidoarjo dan Solo masing-masing Rp100 milyar hanya mampu menciptakan naker terserap sebanyak 674 orang, 1.257 orang dan 1.432 orang.
Sejumlah 3000 an orang pekerja dengan anggaran lebih 300 milyar pelatihan menunjukkan susahnya menciptakan “link and match” antara pencari kerja (skill and competence) dan penyedia kerja.
Baca juga: Jenderal Dagang Narkoba, Catatan Delapan Tahun Revolusi Mental Jokowi
Gambaran tentang buruknya nasib kaum muda sudah kita gambarkan. Kita masih melihat ini dalam standar resmi pengangguran.
Jika kita bicara riil, maka cakupan defenisi pengangguran dapat diperluas lagi. Jika di Amerika, BPS mereka menentukan angka pengangguran standar dengan ukuran U3, namun ukuran riil dengan U6, angkanya berbeda jauh.
Dalam kamus Britannica, “How is the U.S. Unemploynent Rate Calculated”, yang memuat pengertian U3 dan U6 tersebut, disebutkan bahwa angka standar pengangguran Amerika 2022 adalah 4,4%, namun secara riil sesungguhnya 8,7%.
Baca juga: Bunuh Saja Lalu Minta Maaf
Secara umum kita sudah memperlihatkan bahwa kaum muda dan pemuda mengalami persoalan besar bagi dirinya sendiri.
Mereka menjadi bagian dari sistem perekonomian kita yang menempatkan mereka sebagai alat produksi semata, yang digunakan untuk memenuhi rumus-rumus pembangunan ekonomi ala neoliberal. Mengapa demikian?