KOTA BEKASI – Persoalan di dunia properti kembali dipentaskan di Pengadilan Negeri Kota Bekasi, Selasa (23/9/2025). Kali ini, terjadi di Apartemen Kemang View (KVA), Pekayon, Bekasi Selatan, Kota Bekasi dengan aktornya para penghuni, sementara peran antagonis jatuh pada sang pengembang yang plot twist-nya tidak hadir dalam sidang.
Padahal gugatan yang diajukan Perhimpunan Pemilik dan Penghuni Satuan Rumah Susun (P3SRS) KVA sederhana saja, mereka menuntut agar pengembang segera menyerahkan pengelolaan hak bersama alias benda bersama, tanah bersama, dan bagian bersama sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Rumah Susun.
Masalahnya, aturan itu bilang 3 bulan setelah akad kredit harusnya sudah diserahkan, tapi sampai 13 tahun berlalu, janji itu masih sebatas mitos urban.
“Seharusnya tiga bulan setelah akad kredit, pengelolaan harus diserahkan ke P3SRS. Tapi sampai sekarang, nihil! Padahal hukum sudah jelas,” tegas kuasa hukum P3SRS, Cupa Siregar, SH, dengan wajah yang mungkin lebih lelah daripada penghuni yang tiap bulan bayar IPL.
Ketua P3SRS KVA, Hitler P Sitomorang ikut mempertegas bahwa serah-terima melalui notaris itu wajib. “Tahap pertama gugatan soal benda bersama, tahap kedua soal sertifikat hak milik,” katanya. Kalau tahap ketiga mungkin baru soal kesabaran warga yang hampir habis.
Sertifikat yang Tak Kunjung Ada
Masalah makin kocak kalau tidak tragis: penghuni yang sudah melunasi kewajiban sejak 2012 belum juga menerima sertifikat. Padahal, sesuai PPJB dan Undang-Undang Rumah Susun No. 20/2011, itu seharusnya otomatis. Jadi bukan cuma cicilan lunas, tapi juga janji lunas diingkari.
“Kalau kita sudah bayar lunas, ya harusnya sudah terima sertifikat. Tapi kenyataannya? Ya seperti nunggu bis malam yang nggak pernah datang,” sindir Hitler.
Intimidasi Ala Apartemen
Belum selesai dengan sertifikat, warga juga dibuat resah dengan adanya oknum berseragam yang mondar-mandir di apartemen. “Beberapa bulan terakhir ada oknum aparat keliling, bikin warga takut. Kami beli apartemen, bukan tiket rumah hantu,” keluh warga.
Tak tanggung-tanggung, mereka bahkan sampai menitipkan permohonan khusus kepada Panglima TNI agar aparatnya tidak lagi ‘patroli horor’ di lingkungan mereka.
Pengembang “Ada-Tiada”
Menurut pengacara, pengembang ini ibarat hantu gentayangan: “Ada dan tidak ada.” Kadang muncul, kadang hilang, tapi selalu meninggalkan jejak kerugian. Warga pun berharap, lewat pengadilan, pengembang yang invisible ini bisa dipanggil paksa agar bertanggung jawab.
Sampai hari ini, persoalan “hak bersama” di KVA masih tak jelas ujungnya. Benda bersama, tanah bersama, bagian bersama semua terasa masih jadi “masalah bersama”.
Jika kata pepatah “rumah adalah surga”, maka di Bekasi surga itu masih disegel notaris.***