Scroll untuk baca artikel
Pertanian

Petani Badui Buka Ladang, Tanam Huma, dan Bungkam Isu Kelaparan

×

Petani Badui Buka Ladang, Tanam Huma, dan Bungkam Isu Kelaparan

Sebarkan artikel ini
Petani Badui, sejak sepekan terakhir, para leluhur modern ini kembali menggarap ladang huma, sesuai kalender adat - foto doc net

LEBAK – Sementara sebagian rakyat Indonesia sibuk antre bansos dan ribut soal harga beras, sekelompok masyarakat adat di pedalaman Lebak, Banten, justru adem-ayem membuka hutan, menanam padi, dan menyimpan hasil panen tanpa perlu ikut konten TikTok “Beras Mahal Challenge”.

Petani Badui, sejak sepekan terakhir, para leluhur modern ini kembali menggarap ladang huma, sesuai kalender adat yang tidak perlu dikoneksikan dengan aplikasi atau power bank.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

“Kami hari ini membuka hutan berjalan lancar untuk pertanian ladang padi huma dan tanaman palawija,” ujar Santa (55), petani Badui di Blok Cicuraheum, Gunung Kencana, sambil mengayunkan golok seperti biasa, tanpa live streaming.

BACA JUGA :  Program KPB Menjadi Bagian Agenda Kerja Utama Pemprov Lampung

Para petani Badui ini membuka ladang dengan cara sederhana tebas ilalang, potong pohon secukupnya, dan bakar sisa semak bukan untuk konten viral, tapi untuk pupuk.

Mereka menyebutnya bagian dari daur hidup alami, bukan tindakan deforestasi brutal ala korporasi.

“Sisa pembakaran itu nanti jadi pupuk organik, bukan asap politik,” candanya, meski mungkin tidak sadar sedang menyindir siapa.

Tanpa pupuk kimia, tanpa pestisida, tanpa subsidi. Tapi tanah tetap subur, dan panen tetap datang.

Bahkan, menurut hitungan mereka, tanam padi huma September 2025 nanti akan menghasilkan panen sekitar Maret 2026. Tanpa perlu ramalan BMKG atau aplikasi cuaca.

Sekretaris Desa Kanekes, Medi, menjelaskan bahwa semua ini adalah bagian dari sistem hidup masyarakat Badui yang tetap setia pada adat.

BACA JUGA :  Kementan Antisipasi Serangan Hama Ulat Grayak

Bukan karena anti-modernitas, tapi karena tidak ingin terlalu banyak teori, janji-janji, dan rapat koordinasi yang akhirnya cuma menghasilkan spanduk dan notulensi.

“Kami bertani karena memang harus makan. Hasil panen disimpan di leuit, bukan dipamer di Instagram,” jelas Medi sambil menyebut ada 68 kampung yang melakukan hal serupa.

Hasil sayuran dan palawija memang dijual, tapi padi disimpan rapi di lumbung tradisional. Bukan di gudang logistik milik negara yang terkadang kosong saat dibutuhkan.

Dinas Pertanian Kabupaten Lebak bahkan mengakui petani Badui ini bukan sekadar bertahan hidup, tapi juga tahan banting dari krisis pangan.

Menurut Deni Iskandar, Kepala Bidang Produksi, mereka punya 2.000 leuit—rumah pangan khas Badui yang bisa menyimpan sekitar 800 ribu ton gabah.

BACA JUGA :  Pemerintah Diminta Ambil Langkah Atasi Kelangkaan Pupuk di Pringsewu

“Itu rumah pangan, bukan rumah harapan. Isinya gabah, bukan proposal yang belum disetujui,” ucap Deni, mencoba terdengar serius tapi tetap mengundang senyum.

Petani Badui diam-diam menunjukkan pada kita satu fakta sederhana tapi menampar kedaulatan pangan bisa dicapai tanpa subsidi, tanpa pupuk bantuan, dan tanpa drama APBD. Mereka tidak demo, tidak viral, tidak minta jatah.

Mereka cukup diberi hutan, air, dan cuaca yang bersahabat. Sisanya, mereka urus sendiri—pakai tangan, pakai hati, pakai adat.

Dan mungkin, justru itu yang membuat mereka lebih tahan hidup dibanding kita yang setiap minggu ke pasar sambil mengeluh, “Beras naik lagi?”***