Scroll untuk baca artikel
Opini

PIK: Rasisme, Kedaulatan dan Kesenjangan Sosial

×

PIK: Rasisme, Kedaulatan dan Kesenjangan Sosial

Sebarkan artikel ini
Berpedoman kepada perintah langsung Presiden RI Prabowo Subianto, TNI AL bersama masyarakat sekitar membongkar pagar laut sepanjang 30 KM yang ditanam di Pesisir Laut Tangerang. Sabtu (18/1). - foto doc ist
Berpedoman kepada perintah langsung Presiden RI Prabowo Subianto, TNI AL bersama masyarakat sekitar membongkar pagar laut sepanjang 30 KM yang ditanam di Pesisir Laut Tangerang. Sabtu (18/1). - foto doc ist

Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi

WAWAINEWS.ID – PIK-2, Pantai Indak Kapuk, menyeruak oleh belitan kasus hukum. Mulai pelanggaran lingkungan, hingga pelanggara tata ruang.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Terakhir terseret-seret oleh kasus “tanggul laut”, sepanjang lebih 30 km, di Tangerang. Sebagian publik menilainya berkaitan dengan PIK 2. Kasusnya sedang diinvestigasi

Ada tiga ancaman mengintai dan membekap kasus PIK 2. Tanpa penyelesaian komprehensif dan mendasar, kasus ini bisa menjadi duri dalam daging pemerintah RI. Terus hadir sebagai masalah bangsa.

Pertama, isu rasisme. PIK 2 dimiliki oleh konglomerat etnis Cina. Diperkirakan memuat 74.000 unit rumah mewah. Secara keseluruhan akan memuat tidak kurang 305.000 orang.

Sebagai fasilitas perumahan elit, hanya bisa dimiliki kaum the have. Bisa diprediksi, semuanya atau mayoritas, etnis Cina.

Realitas itu akan mengundang isu rasisme. Benturan antar ras. Di tengah realitas historis kasus itu yang selalu berulang.

Beberapa abad lalu (1740 M), tidak jauh dari lokasi PIK 2. Tepatnya di Jakarta. Data kontemporer menyebut 10.000 orang cina di bunuh, 500 luka parah, 700 rumah dirusak.

BACA JUGA :  Maret, Soeharto dan Ketidaksabaran HB X

PIK 2 menegaskan eklusivitas orang-orang Cina. Sebuah kemegahan eklusive beridentitas etnis, di tengah masyoritas masyarakat dengan etnis berbeda.

Eklusivitas itu akan mudah menjadi pemicu benturan. Ketika menemukan triger yang tepat, kasus Jakarta bisa berulang.

Proyek itu menegaskan perjalanan panjang sebuah bangsa tidak mudah menjadikan koloni minyak bisa bersatu dengan air. Pembauran masih sulit diwujudkan.

Kedua, isu kedaulatan. Salah satu HTAG (Hambatan, Tantangan, Ancaman, Gangguan) pada masa mendatang adalah krisis iklim.

Ketika sejumlah belahan dunia kenyamanan hidupnya terusik oleh prahara iklim. Terjadi krisis pangan, air, energi dan lingkungan yang tidak bersahabat.

Kasus Eropa yang “membeku” dan kebakaran hutan di Los Angles USA, memberi gambaran betapa banyak belahan negara maju sedang menghadapi masalah tempat tinggal.

Indonesia merupakan salah satu belahan dunia yang ideal untuk ditinggali. Memiliki potensi produksi pangan, ketersediaan energi-air dan cuaca nyaman-aman untuk tempat tinggal.

Proyek PIK 2 menawarkan hunian mewah bagi siapa saja yang bisa membayar. Keberadaannya menjadi kantong pijakan bagi penduduk berbagai belahan dunia untuk datang dan menetap di Indonesia.

Proyek seperti PIK 2 tidak hanya satu lokasi. Berdiri di banyak tempat. Memicu kekawatiran sebagai pijakan datangnya ancaman kedaulatan dari luar. Oleh serbuan orang-orang luar untuk tinggal dan menguasai Indonesia.

BACA JUGA :  Walau Lapar Saya Tak Akan Berkhianat

Kantong-kantong perumahan mewah yang tidak bisa dijangkau oleh kebanyakan rakyat Indonesia itu menjadi tempat ancaman kedaulatan berpijak. Untuk kemudian menjalar ke seluruh wilayah Indonesia.

Ketiga, isu kesenjangan sosial. Sebagai pemukiman mewah, hanya bisa ditinggali orang-orang berduit. Bukan oleh orang Indonesia kebanyakan. Kantong-kantong pemukiman mewah eklusive “orang asing” akan mempertebal rasa kesenjangan sosial itu.

Data menunjukkan pada tahun 1980-1996 pertumbuhan ekonomi rata-rata 7,03%. Koefisien gini ratio pada periode itu antara 0,32-0,35. Sementara pertumbuhan ekonomi pada era reformasi berkisar 5%. Dengan koefisien gini ratio 0,35-0,42. Artinya kesenjangan kaya-miskin melonjak drastis pada era reformasi dibanding era orde baru.

Ketika realitas di atas: rasisisme-ancaman kedaulatan-kesenjangan sosial, tidak bisa diatasi sebatas pendekatan hukum. Harus ada format penyelesaian komprehensif-fundamental.

Penyelesaian hukum hanya akan menjadi solusi reaksioner atas permasalahan besar yang dihadapi. Bukan tidak perlu penyelesaian secara hukum. Melainkan dibutuhkan lebih dari sekedar penegakan hukum. Sebuah kebijakan mendasar.

Tanpa penyelesaian komprehensif-fundamental, kasus ini akan terus berulang. Termasuk ajaran toleransi dan anti rasisme. Problem pemicunya bukan pada cara pandang rasisme. Pemicunya bertaut erat dengan isu kedaulatan dan kesenjangan sosial.

BACA JUGA :  Ramadhan dan Peradaban Serba Tuhan

Indonesia harus memiliki blueprint menghadapi eklusivisme etnis tertentu itu. Agar pembauran benar-benar bisa diwujudkan. Bukan saja pada himbauan anti rasisme.

Konsep menghadapi serbuan “korban prahara iklim” terhadap Indonesia juga harus dibuat. Bagaimana kedatangan para pencari tempat tinggal baru itu tidak merugikan rakyat Indonesia sendiri.

Apakah melalui regulasi yang ketat dan pajak yang tinggi. Sehingga kompensasi diberikan kepada masyarakat yang memerlukan. Atau dengan menolak sama sekali.

Konsep mengatasi kesenjangan sosial juga harus dibuat. Misalnya dengan menerapkan kembali konsep pembangunan perumahan berkeadilan sosial era Orde Baru. Konsep 1-3-5. Pengembang bisa membangun 100 rumah mewah setelah membangun 300 rumah tipe medium. Pembangunan 300 rumah time medium bisa dilaksanakan setelah membangun 500 rumah tipe sederhana.

Di luar kesenjangan dalam hunian, kesenjangan secara umum, gini ratio juga perlu diperbaiki.

Kasus PIK 2 perlu pendekatan fundamental komprehensif. Bukan pendekatan bersifat reaksioner dan parsial.

ARS (rohmanfth@gmail.com), Jakarta, 20-01-2025