Oleh: Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Islam melarang ummatnya taqlid buta. Ikut pendapat atau tindakan orang, tanpa mengetahui dasar atau dalilnya dari Al Qurán dan Sunnah. Terutama bagi orang yang diberikan kemampuan berfikir. Mereka harus terus berusaha mencari kebenaran tersejati, dalam kandungan Al Qurán dan Hadist.
Keikutsertaan seseorang pada pendapat atau tindakan orang lain harus didasarkan keyakinan. Orang yang diikuti memiliki kompetensi menunjukkan kebenaran otentik, bersumber Al Qur’an dan Hadits. Bukan keikutsertaan serta merta, tanpareserve.
Orang yang diikuti harus diyakini mampu menjadi pintu mengantarkan pada kebenaran otentik itu. Mereka biasa disebut ulama. Ahli ilmu.
Berdasar prinsip seperti itu, menyeruaknya polemik nasab di Indonesia seharusnya tidak menjadi masalah. Lumrah dan biasa saja. Khususnya pada masyarakat terdidik.
Nalar intelektualnya akan membimbing untuk memverifikasi. Mana argumentasi yang sejalan dengan kaidah-kaidah Qur’an dan Sunnah. Juga kaidah intelektual.
Berpuluh, bahkan beratus tahun. Berkembang klaim klan Baalawi merupakan dzuriah atau tersambung nasab kepada Rasulullah SAW. Klaim/doktrin ini membuat klan Baalwi memiliki privilage dalam struktur sosial muslim Nusantara. Khususnya dari warga NU.
Doktrin itu berantakan. Ketika Kyai Imadudin Al Bantani menyodorkan tesis berbeda. Berdasar studi literatur, klan ini terbukti tidak tersambung nasab kepada Rasulullah SAW.
Klan Baalawi mengklaim tersambung kepada Rasulullah Muhammad Saw., melalui sosok Ubaidillah. Anak Imam Ahmad Al Muhadjir.
Sementara kitab nasab Tahdzib al-Ansab (abad 5 H) dan Al-Syajarah al-Mubarakah fi Ansab ath-Thabithabah (abad 6) menyatakan Imam Al Muhadjir tidak memiliki anak bernama Ubaidillah. Baru abad ke 10 H, kitab-kitab nasab mencantumkan Ubaidillah merupakan anak Imam Al Muhadjir.
Kitab nasab pertama yang mencatumkan adalah Tuhfatudh Dholib fi Manaqib Ba ‘Alawi. Kitab ini disusun internal klan Baalwi.