LAMPUNG TIMUR — Program Optimalisasi Lahan Pertanian (Oplah) di Kabupaten Lampung Timur (Lamtim), yang sejatinya dirancang untuk membuat sawah lebih produktif, kini justru menjadi ladang subur bagi bibit baru: dugaan korupsi dan pungutan liar.
Yang kecewa bukan cuma petani tapi juga logika. Sebab di atas nama “optimalisasi”, yang tampak justru praktik “oplahisasi”: optimalisasi ladang duit bagi segelintir orang.
Aroma Busuk dari Desa Marga Batin
Tiga petani asal Desa Marga Batin, Kecamatan Waway Karya — Sukirno, Sarbidi, dan Sudisman — akhirnya naik ke jenjang yang lebih tinggi dari sawah mereka: Kejaksaan Tinggi (Kejati) Lampung.
Pada Kamis (6/11/2025), mereka datang bukan membawa hasil panen, melainkan laporan dugaan tindak pidana korupsi.
Yang mereka laporkan Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Margo Rukun, Agus Suwito, serta koordinator penyuluh pertanian di wilayah setempat.
“Seharusnya yang mendapat program Oplah itu kelompok kami, Sido Asri. Tapi kami tidak pernah dilibatkan. Semua diambil alih oleh Ketua Gapoktan,” kata Sukirno, seperti petani yang sudah lelah menunggu keadilan tumbuh.
298 Hektare yang Misterius
Sarbidi, rekan Sukirno, menambahkan yang mereka cari sebenarnya sederhana — transparansi. Mereka hanya ingin tahu siapa saja pemilik 298 hektare lahan sawah yang menerima bantuan Oplah dari Kementerian Pertanian.
Namun, seperti data anggaran yang tersesat di antara laporan, daftar penerima manfaat itu hilang di balik tirai Gapoktan.
“Kami minta data nama-nama penerima, tapi Ketua Gapoktan dan koordinator penyuluh diam seribu kata,” ujar Sarbidi.
“Yang turun ke lapangan cuma traktor. Datanya tidak pernah turun.”imbuhnya.
Program Oplah didanai seyogya dari APBN, dengan ketentuan petani seharusnya mendapat lahan siap tanam tanpa biaya. Namun di lapangan, setiap hektare justru “dipanen” pungutan: Rp900.000 per hektare.
“Kami tetap bayar biaya bajak sawah ke Brigade Pangan,” kata Sarbidi.
Padahal lanjut dia, katanya sudah ada dananya dari pemerintah. Dalam bahasa petani, tanah memang bisa dibajak, tapi hati jangan.
Dinas Bicara: “Itu Dana Operasional”
Plt Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan Lampung Timur, Triwibowo, mengakui bahwa dana Rp900.000 per hektare memang ada, tapi disebutnya “dikelola kelompok tani”.
Menurut dia, dana itu digunakan untuk bahan bakar, operasional traktor, dan biaya tenaga kerja. Namun saat ditanya soal data nama-nama penerima bantuan, Triwibowo mengangkat bahu:
“Kami tidak punya datanya. Itu semua ada di kelompok tani.”papar dia sebagaimana dilansir Wawai News.
Jawaban ini terdengar seperti lagu lama birokrasi: data kami terbatas, tapi tanggung jawab kami tak terbatas tentu dalam batas yang aman.
Sebagaimana dilansir dari sumber lain di Kecamatan Way Jepara menyebutkan, 5.575 hektare lahan rawa di Lampung Timur tahun 2024 menjadi sasaran Oplah. Namun, data itu terlalu basah oleh dugaan mark up.
“Data nama penerima ditutup rapat. Tujuannya jelas mengatur lahan dan anggaran sesuai selera,” ujar sumber yang meminta namanya disamarkan.
Dengan angka Rp900 ribu per hektare, potensi dana yang berputar bisa mencapai miliaran rupiah. “Yang mengalir bukan air irigasi, tapi uang bantuan,” katanya sinis.
Kisah ini semakin absurd ketika Feri Cahyo Wibowo, Koordinator Penyuluh Pertanian setempat, justru mengakui bahwa dana Oplah “dipotong oleh oknum”.
Mediasi demi mediasi dilakukan. Hadir di antaranya Ketua Komisi II DPRD Lamtim Yulida, Kadis Pertanian Triwibowo, Korluh Feri, Kapolsek Waway Karya AKP Eddy Iskandar, dan Ketua Gapoktan Agus Suwito. Namun hasilnya nihil.
“Setiap kali ditanya data penerima, Agus cuma diam. Diam yang mahal,” ujar Sukirno.
Dari 187 petani yang seharusnya menerima bantuan, sebagian hanya dapat Rp500 ribu atau Rp1 juta. Sebagian besar tak menerima sama sekali.
“Yang lain sudah panen, kami masih menanam harapan,” kata Sudisman lirih.
Program Optimalisasi Lahan yang semestinya memulihkan lahan tidur agar produktif, kini justru memunculkan lahan-lahan baru: lahan ketidakpercayaan, lahan konflik, dan lahan ketimpangan.
“Dana bantuan pertanian harusnya menumbuhkan padi, bukan prasangka,” ucap Sukirno menutup perbincangan.
Kini, laporan mereka di meja Kejati Lampung menjadi benih baru entah akan tumbuh menjadi keadilan, atau hanya layu sebelum sempat berakar.***













