WAWAINEWS.ID – Di tengah narasi besar pembangunan, investasi, dan janji kesejahteraan, Lampung Timur justru menutup 2025 dengan potret buram yang tak bisa disapu di bawah karpet seremoni.
Sorotan di PT Pesona Sawit Makmur 2 (PSM 2) di Desa Gunung Agung, Kecamatan Sekampung Udik, menjadi cermin telanjang bagaimana investasi bisa berubah menjadi mesin konflik ketika etika, hukum, dan pengawasan ditinggalkan.
Apa yang awalnya dikemas sebagai proyek strategis penggerak ekonomi, perlahan terbuka sebagai rangkaian persoalan serius, dugaan pemotongan upah buruh, legalitas perusahaan yang kabur, serikat pekerja abu-abu, pencemaran lingkungan, praktik pungli, hingga lemahnya peran negara. Ini bukan satu insiden. Ini pola.
Upah Rp6 per Kilogram: Ketika Keringat Dihargai Recehan
Tahun 2025 mencatat salah satu ironi paling getir dalam sejarah ketenagakerjaan lokal. Buruh bongkar muat sawit di PSM 2 diduga hanya menerima Rp6 per kilogram setelah pemotongan dari upah seharusnya Rp12.
Angka itu bukan sekadar kecil. Ia simbol betapa murahnya nilai manusia dalam rantai industri sawit.
Ketua F-SPSI NIBA Sekampung Udik, Ali Usman, menyebut praktik ini tidak hanya melanggar aturan pengupahan, tetapi juga berpotensi masuk kategori pungutan liar.
Terlebih, pemotongan dilakukan oleh Serikat Buruh Bongkar Muat (SBBM) Abadi Jaya Sejahtera organisasi yang legalitasnya dipertanyakan, alamatnya tidak jelas, dan tidak terdaftar di Disnaker Lampung Timur.
Pertanyaan mendasar pun mengemuka: Jika serikat tidak jelas, atas dasar apa mereka memotong upah buruh?
Serikat Abu-Abu dan “Pihak Ketiga” yang Tak Pernah Hadir
Konflik kian rumit ketika muncul kontradiksi terbuka antara manajemen PSM 2 dan SBBM.
Manajer PSM 2, Viktor, berulang kali menyebut urusan buruh sebagai tanggung jawab “pihak ketiga” istilah yang terus diulang, namun tak pernah dijelaskan siapa dan apa kewenangannya.
Sebaliknya, Ketua SBBM, Angga Brawijaya, mengaku ditunjuk langsung oleh perusahaan.
Dua pernyataan ini saling meniadakan. Publik pun dibuat bertanya: Siapa sebenarnya yang mengendalikan tenaga kerja di PSM 2?
Situasi ini memperkuat dugaan adanya kekacauan tata kelola outsourcing dan kemitraan buruh, di mana perusahaan tampak ingin lepas tangan, sementara buruh kehilangan perlindungan.
Negara yang Datang Terlambat, atau Memilih Tidak Datang
Di tengah laporan resmi, pengaduan serikat, dan pemberitaan media, respons Dinas Tenaga Kerja Lampung Timur justru menuai kritik tajam.
Pernyataan Kabid Hubungan Industrial Disnaker yang mengaku “belum membaca pemberitaan”, “belum mendapat instruksi”, dan “belum tahu apa-apa” padahal telah melakukan BAP menjadi simbol lemahnya fungsi pengawasan.
Pengawasan ketenagakerjaan yang seharusnya aktif, berubah pasif. Negara hadir hanya sebagai penonton.
Potongan Kecil, Dugaan Bancakan Besar
Potongan Rp6 per kilogram mungkin terdengar remeh. Namun ketika dikalikan volume bongkar muat puluhan truk per hari, ribuan ton per bulan angka itu berubah signifikan.













