SPSI NIBA memperkirakan potensi aliran dana hingga puluhan bahkan ratusan juta rupiah per bulan. Dugaan pun menguat bahwa potongan ini bukan sekadar biaya administrasi, melainkan “bancakan” yang melibatkan banyak tangan.
Dugaan pungli di lapangan, penangkapan dua oknum penarik uang parkir ilegal, hingga kemunculan oknum aparat dalam berbagai peristiwa, semakin memperkeruh situasi.
Lingkungan Rusak, Limbah Mengalir, Pengawasan Tertinggal
Masalah PSM 2 tidak berhenti pada buruh. Warga Desa Gunung Agung menghadapi dampak lingkungan serius: sawah rusak, kebun tercemar, air menghitam, bau menyengat.
Investigasi lapangan menemukan dugaan aliran limbah dari kolam PSM 2 menuju Way Sekampung melalui pipa tersembunyi. Jika terbukti, ini bukan lagi kelalaian, melainkan dugaan pelanggaran lingkungan berat.
Ironisnya, respons Dinas Lingkungan Hidup masih sebatas “verifikasi pemberitaan”, sementara limbah sudah lebih dulu memverifikasi dirinya lewat bau, warna, dan kerugian warga.
Sidak DPRD: Perusahaan Beroperasi Tanpa Dokumen
Puncak ironi terjadi saat sidak Komisi III DPRD Lampung Timur. Perusahaan yang baru diresmikan pejabat provinsi ternyata tidak mampu menunjukkan satu pun dokumen legalitas operasional.
Alasan klasik kembali muncul: “dokumen ada di Palembang”.
Sebuah perusahaan beroperasi di Lampung Timur, meraup keuntungan di Lampung Timur, menimbulkan dampak di Lampung Timurnamun legalitasnya mengembara ke luar daerah.
Ini bukan sekadar administrasi. Ini alarm.
Catatan Penutup: Investasi Tanpa Etika adalah Masalah
Kasus PSM 2 bukan sekadar konflik perusahaan dan buruh. Ia adalah potret kegagalan sistemik:
- Perusahaan beroperasi tanpa transparansi
- Serikat abu-abu memotong upah buruh
- Lingkungan tercemar tanpa penanganan cepat
- Pengawasan pemerintah melemah
- Hukum tertinggal di belakang fakta lapangan
Investasi seharusnya membawa kesejahteraan, bukan penderitaan. Pabrik boleh megah, produksi boleh tinggi, tetapi jika dibangun di atas keringat murah, lingkungan rusak, dan hukum diabaikan, maka yang lahir bukan kemajuan melainkan konflik berkepanjangan.
Menutup 2025, Lampung Timur dihadapkan pada satu pertanyaan besar: Apakah negara akan hadir sebagai pelindung rakyat, atau terus menjadi penonton saat buruh, warga, dan lingkungan dikorbankan?
Kaleidoskop ini bukan untuk menutup cerita, tetapi membuka ingatan. Agar 2026 tidak mengulang luka yang sama.***













