KOTA BEKASI — Di balik jargon “pendidikan bermartabat”, muncul aroma janggal dari kegiatan rapat kerja Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) Pondok Melati yang digelar di Yogyakarta. Pemerintah menyebut biayanya “dana pribadi”, tapi sejumlah guru di lapangan justru mengendus sumber lain yang tak kalah akrab yakni dana BOS.
Dunia pendidikan di Kota Bekasi kembali disorot. Setelah viral kabar Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) Kecamatan Pondok Melati (Pomel) menggelar rapat kerja (raker) di Yogyakarta, kini mencuat informasi bahwa kegiatan serupa juga dilakukan oleh kelompok kepala sekolah di Pondok Gede dan Jatisampurna dengan pola hampir serupa yakni rapat di luar kota, suasana mirip wisata, dan dalih yang terdengar sangat akademis “raker peningkatan kinerja.”
Sumber internal di lingkungan dunia pendidikan Kota Bekasi menyebutkan, pekan lalu rombongan K3S Jatisampurna berangkat ke Malang, disusul K3S Pondok Gede yang juga “berdiskusi strategis” di luar daerah.
“Bahkan ada videonya,” ujar sumber yang meminta namanya disamarkan, Kamis (30/10/2025).
Dalihnya Dana Pribadi, Tapi Logikanya Menguji Akal Sehat
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Bekasi, Warsim, mengonfirmasi kegiatan K3S Pomel di Yogyakarta namun menegaskan bahwa tidak ada dana publik yang digunakan.
“Raker K3S Pomel ke Yogya belum izin ke Disdik. Informasinya, ada tiga kepala sekolah yang pensiun sekalian acara perpisahan, dan dananya dari pribadi masing-masing,” ujar Warsim melalui pesan WhatsApp kepada Wawai News pada Kamis 30 Oktober 2025.
Keterangan ini terdengar diplomatis, tapi di lapangan guru-guru justru mengernyitkan dahi. Seorang guru SD negeri yang pernah menjadi pengurus sekolah dengan lantang membantah narasi “dana pribadi” tersebut.
“Saya ini tahu betul mekanisme keuangan sekolah, apalagi soal dana BOS. Tidak mungkin mereka pakai uang pribadi bareng-bareng begitu,” katanya.
“Kepala sekolah itu, urusan beli air galon buat rapat aja kadang mikir dua kali. Masa raker sampai Yogya pakai uang pribadi?” ujarnya, dengan nada getir dan sedikit tawa sinis.
Dana BOS dan Tradisi Lama yang Tak Kunjung Luruh
Guru tersebut menambahkan bahwa praktik “raker ke luar kota” biasanya terjadi setelah dana BOS cair, disertai sisa anggaran belanja yang kemudian dialihkan untuk kegiatan non-esensial, bahkan kadang disertai belanja fiktif bekerja sama dengan penyedia tertentu.
“Kalau mau beresin dana BOS, ya bongkar aja praktik kayak begini. Karena ini sudah jadi tradisi lama yang disulap jadi kegiatan peningkatan kapasitas,” ungkapnya kadang ada pihak tertentu yang datang meminta setoran karena tahu permainan dana BOS.
Ia pun mendesak agar Inspektorat Kota Bekasi turun tangan melakukan audit investigatif menyeluruh, bukan hanya klarifikasi di atas kertas.
“Kalau serius mau beresin, jangan tutup mata. Pendidikan itu bukan tempat latihan akrobat moral,” tambahnya.
Wajah Pendidikan Jadi Ajang Gengsi Jabatan
Fenomena raker beraroma plesiran ini menyingkap sisi ironis wajah pendidikan di daerah. Di tengah guru honorer yang masih menanti insentif, fasilitas sekolah yang jauh dari ideal, dan ruang kelas yang rusak, para kepala sekolah justru punya “kesempatan” menggelar rapat strategis di kota wisata.
“Ironis memang. Gaji guru kecil, dana BOS seharusnya bisa untuk tambahan guru honorer, malah dipakai jalan-jalan kepala sekolah. Makanya orang berlomba jadi kepala sekolah karena fasilitasnya ‘berwarna’,” kata sumber tersebut.
Publik tentu tak menolak kepala sekolah berkegiatan pengembangan diri, tapi ketika agenda “rapat kerja” dikemas seperti liburan kolektif berkedok formalitas, wajar bila kepercayaan publik mulai terkikis.
Apalagi jika dalih “dana pribadi” hanya menjadi tameng untuk menutupi praktik penggunaan dana publik yang tak transparan.
Yang lebih disayangkan, praktik seperti ini seolah dibiarkan tumbuh sebagai tradisi birokrasi pendidikan yang sulit disentuh, padahal setiap kepala sekolah sejatinya adalah panutan moral bagi murid dan guru.
Kasus K3S Pomel dan wilayah lain bukan hanya tentang perjalanan dinas yang kelewat jauh, tapi tentang kultur pendidikan yang mulai kehilangan arah etik.
Saat kepala sekolah lebih semangat mengurus itinerary dibanding inovasi belajar, maka krisis pendidikan bukan lagi di ruang kelas tapi di ruang rapat.
Jika Pemerintah Kota Bekasi serius ingin membenahi dunia pendidikan, audit dana BOS dan perilaku aparatur sekolah harus menjadi prioritas utama, bukan sekadar wacana.
Bekasi tak kekurangan guru pintar. Yang kurang, justru guru yang mau jujur di tengah sistem yang membiarkan “liburan bersubsidi.”.***















