KOTA BEKASI — Ironi itu nyata, fenomena tengah larangan keras Gubernur Jawa Barat bagi pelajar untuk melakukan studi tour ke luar daerah, para kepala sekolah di Kota Bekasi justru leluasa berkemas, berangkat, dan berpose di kota wisata. Alasannya, rapat kerja.
Hasil penelusuran redaksi menemukan bahwa sejumlah Kelompok Kerja Kepala Sekolah (K3S) di Kota Bekasi, baik negeri maupun swasta, secara serentak menggelar kegiatan rapat kerja di luar kota. Namun aroma “plesiran” kental terasa dari lokasi, durasi, hingga waktu keberangkatan yang pas di hari kerja.
Bukan hanya satu, tapi hampir semua K3S di berbagai kecamatan terlibat. K3S Pondokmelati, Bekasi Barat, dan Mustikajaya kompak memilih Yogyakarta sebagai destinasi “raker” pada 29–31 Oktober 2025.
Sementara Pondokgede dan Jatisampurna bahkan sudah lebih dulu meluncur ke Malang, Jawa Timur.
Jejak digital dan dokumentasi yang beredar memperlihatkan kegiatan mereka berlangsung santai, jauh dari kesan serius membahas peningkatan mutu pendidikan.
Padahal, larangan untuk kegiatan pelajar ke luar daerah baru saja ditegaskan oleh Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, dengan alasan efisiensi anggaran dan keselamatan siswa. Namun rupanya, larangan itu tak menyentuh ruang kepala sekolah.
“Modus Lama, Pola Sama”
Seorang narasumber internal dunia pendidikan Bekasi yang meminta namanya disamarkan menyebut praktik seperti ini bukan hal baru.
“Sudah jadi agenda tahunan, Mas. Modusnya rapat kerja atau studi banding, tapi ya isinya jalan-jalan. Rapatnya paling setengah hari, sisanya wisata,” ungkapnya.
Ia juga menyinggung dugaan sumber pendanaan kegiatan yang tidak sepenuhnya berasal dari kocek pribadi.
“Biasanya pakai dana operasional sekolah. Kadang dari kelebihan belanja BOS (Bantuan Operasional Sekolah), terus dikembalikan dalam bentuk cashback atau paket wisata. Ini rahasia umum,” katanya.
Praktik semacam itu, jika benar terjadi, jelas menyalahi prinsip penggunaan dana BOS yang ketat diperuntukkan bagi kebutuhan operasional dan peningkatan mutu pembelajaran.
Dinas Tahu Tapi Maklum
Saat dikonfirmasi, Sekretaris Dinas Pendidikan Kota Bekasi, Warsim, mengakui bahwa keberangkatan sejumlah K3S itu tidak pernah dilaporkan secara resmi ke dinas. Namun, nada jawabannya terkesan lunak.
“Untuk Pondokmelati memang ada tiga kepala sekolah yang pensiun. Katanya ini pelepasan dan patungan, ya manusiawi lah,” ujar Warsim kepada Wawai News, Jumat (31/10/2025).
Ketika disinggung adanya K3S lain seperti Bekasi Barat dan Mustikajaya yang juga ke Yogyakarta, Warsim hanya menjawab singkat: “Belum ada laporan.”
Sikap “maklum” ini justru menjadi sorotan. Sebab, di saat guru dan murid dituntut berdisiplin dan efisien, para pemimpinnya justru memberi contoh sebaliknya.
“Manusiawi” mungkin, tapi tetap melanggar etika profesional dan tanggung jawab moral seorang pendidik. Rapat kerja bisa saja menjadi ajang silaturahmi, tapi tak semestinya dilakukan di jam kerja dengan dalih yang sulit dibedakan dari wisata.
Citra Guru di Persimpangan
Di ruang publik, guru adalah teladan. Namun, kasus ini memperlihatkan bagaimana sebagian pemimpin sekolah di Bekasi seolah abai terhadap pesan moral yang mereka ajarkan sendiri di depan kelas: kejujuran, tanggung jawab, dan kedisiplinan.
Masyarakat kini menuntut transparansi baik dalam penggunaan dana publik maupun dalam etika jabatan.
Jika murid diminta menahan diri untuk tidak studi tur, maka seharusnya kepala sekolah bisa menahan langkah untuk tidak menjadikan rapat kerja sebagai ajang jalan-jalan.
Pendidikan Dimulai dari Keteladanan
Pada akhirnya, pendidikan tidak hanya soal kurikulum dan sarana, tapi juga keteladanan.
Jika kepala sekolah melanggar semangat efisiensi dan disiplin, bagaimana murid bisa percaya bahwa nilai-nilai yang diajarkan bukan sekadar teori?
Mungkin Gubernur Jawa Barat tidak perlu menambah aturan baru. Cukup satu imbauan sederhana:
“Sebelum melarang murid studi tur, pastikan gurunya tak sedang berlibur.”***













