Oleh: Yusuf Blegur
Bukan hanya menyisakan sedikit tanah bagi rakyat. Namun lebih dari itu, bisnis para taipan telah cenderung melakukan perampasan hak rakyat atas tanah. Dengan modal besar yang bisa melakukan intervensi konstitusi dan menguasai birokrasi. Konglomerasi semakin agresif melakukan penyerobotan tanah petani, penggusuran lahan dan rumah-rumah serta tanah sumber kehidupan lainnya milik rakyat.
Rakyat Indonesia harus merasakan kenyataan pahit bahwa negara telah diatur perusahaan bukan oleh pemerintah. Pemerintah sendiri lebih menempatkan fungsinya sebagai pelayan administrasi dan teknis dari pelbagai kepentingan korporasi besar. Birokrasi yang harusnya menjadi representasi negara dan melindungi rakyat, justru menjadi alat efektif memuluskan dan melindungi ekspansi dunia usaha terutama oleh sektor swasta dan asing.
Alih-alih mengatur dan mengelola regulasi yang berpihak kepada kepentingan rakyat, pemerintah malah mendukung konglomerasi yang eksploitatif, terhadap kepemilikan dan pengelolaan sumber daya alam serta menindas kehidupan rakyat.
Sungguh luar biasa mengerikan, bagaimana sekelompok kecil bisa menguasai lahan yang begitu luas di negeri ini. Sentralisasi dan distribusi kepemilikian lahan yang sangat besar, oleh berjuasi korporasi kapitalis yang jumlahnya bisa dihitung jari. Bukan hanya merampas hak rakyat atas tanah, tapi semakin menyuburkan ketidakadilan, melahirkan kemiskinan masal dan struktural serta membunuh rakyat perlahan-lahan.
Mengingat semakin banyaknya muncul kasus-kasus sengketa kepemikikan tanah, utamanya antara pengusaha skala besar berhadapan dengan pribadi dan masyarakat. Baik yang terkait dengan kepemilikan tanah garapan, hak ahli waris dari tanah verbounding hagendum, sampai kepada kepemilikan surat tanah ganda dll. Pada akhirnya hanya menghasilkan ‘unhappy ending’ bagi rakyat kecil. Terutama rakyat kecil dan miskin yang tidak memiliki akses ekonomi, akses hukum dan akses politik yang memadai.
Baru saja perhatian publik tersita oleh penyerobotan tanah milik Ari Taharu seorang kakek buta huruf berusia 67 tahun di Sulwesi Utara. Meski dibela seorang Bigjend Junior Tumilaar, Ari Taharu harus rela tanahnya diambil paksa oleh PT. Citra Internasional. Juga kasus Rocky Gerung berhadapan dengan PT. Sentul City Tbk, merupakan contoh bahwa betapa penting dan mendesaknya kehadiran negara dalam soal-soal tanah yang sering merugikan dan mengorbankan rakyat.
Bahkan sosok Rocky Gerung yang katagori orang terdidik dan berada dekat di jantung Ibukota negara, tetap harus terhempas oleh bengisnya korporasi besar yang haus tanah. Tentu saja kita dapat membayangkan, bagaimana penderitaan rakyat awam dan buta huruf yang tinggal di pelosok-pelosok Indonesia, karena dirampas hak tanahnya oleh kerakusan konglomerat.
Untuk dapat memahami dan memetakan persoalan secara substansi pada contoh kasus diatas dan mungkin dari sekian banyaknya persoalan tanah di Indonesia. Ada baiknya kita mengangkat dan menggali apa yang pernah direlease beberapa media daring seperti Detik, Kompas, CNN Indonesia, kumparan, Tirto dll.
Media-media online tersebut setidaknya mampu menampilkan sisi-sisi tersembunyi dan tak terlihat dari monopoli, dominasi dan hegemoni penguasaan tanah oleh korporasi borjuasi di Indonesia. Berikut deskripsi jurnalistik yang menampilkan ulasan para tokoh dan lembaga terkait yang konsern pada permasalahan pertanahan.
Dari pelbagai informasi yang berkembang, meski belum bisa dipastikan sumber dan akurasi datanya. Namun dari sebaran informasi dan bahan yang mengacu pada kementerian, banyaknya presentasi dan diskusi-diskusi dengan istitusi pemerintahan. Beberapa lembaga kompeten dan representatif terkait data agraria.
Telah ditelusuri ada kurang lebih 25 taipan yang memiliki kekayaan setara hampir 50% APBN Indonesia sejak tahun 2014. “Polling Capital” itu diperoleh dari korporasi besar termasuk Malaysia dan Singapura yang menguasai 57,4% lahan. Jika termasuk lahan inti dan plasma, maka bisa mencapai 95% penguasaan lahan oleh mereka. Tinjauan ini pernah disampaikan oleh ICW melalui Mouba Wasef.
Begitu juga dengan beberapa figur dan kelembagaan terkait yang hampir sama membeberkan data distribusi kepemilikan lahan di Indonesia. Sebut saja Komite Nasional Pembaruan Agraria (KNPA). Saat merayakan Hari Tani Indonesia pada tahun 2017, KNPA mengungkap 71% seluruh wilayah daratan Indonesia dikuasai korporasi kehutanan. 16% oleh korporasi perkebunan. Konglomerat menguasai 7%. Sementara rakyat hanya memiliki sisanya.
Sama halnya dengan organisasi non pemerintah Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Turut mengekspos bahwa 46% lahan diluar kawasan hutan dikuasai perusahaan perkebunan. Luasnya sekitar 33,5 jt. hektare dengan status Hak Guna Usaha (HGU). Sementara kawasan hutan sebanyak 35 jt. hektare dengan status Hak Pengusahaan Hutan (HPH) dikuasai oleh Hutan Tanaman Industri. Sementara perusahaan konservasi di Jawa dimonopoli oleh Perhutani.
Keberadaan petani Indonesia yang mayoritas menjadi petani gurem. Hanya memiliki lahan tidak lebih dari 0,5 haktare. Selebihnya hanya petani yang tak memiliki tanah (tunakisma). Suatu hal yang sulit diterima akal sehat dimana nasib petani begitu memprihatinkan keberadaannya di dalam negeri agraris.
Sebuah lembaga Oxfram Briefing yang bekerja sama dengan Infid pernah membuat tulisan bertajuk “Towards More Equal Indonesia” pada tahun 2017. Mengangkat realitas betapa petani hanya memiliki kurang dari seperempat hektare lahan. Keadaan bekerja sebagai petani dengan lahan seperti itu, sudah bisa dipastikan hasilnya tak mencukupi untuk mempertahankan hidup keluarganya.
Beberapa tokoh politisi dan pejabat ikut serta melontarkan nada yang sama terkait cekaknya tanah yang dimiliki rakyat dan betapa berlimpah ruahnya hamparan penguasaan lahan yang dimiliki borjuasi korporasi. Tak kurang mulai dari Amien Rais mantan Ketua MPR RI, Hafid Abbas seorang mantan Komnas HAM, dan Ahmad Alamsyah Saragih yang pernah mewakili Ombudsman RI. memberikan perhatiannya akan ketimpangan status kepemilikan lahan antara rakyat dengan korporasi.
Bahkan seorang Prabowo yang kini menjadi pembantu presiden yang menjadi lawannya di Pilpres 2019. Pernah memblow up 80% lahan dimiliki konglomerat Indonesia, dan hanya 1% yang dimiliki rakyat. Sebelum wacana itu tenggelam usai lontarannya soal Indonesia bubar pada tahun 2030.
Semua paparan dan analisa komparatif kepemilikan dan penguasaan lahan antara yang dikuasai negara, rakyat dan kompilasi korporasi besar itu. Seakan tak mampu menghentak kesadaran dan kebangkitan negara dalam mereformasi agraria khususnya tanah.
Malah sebaliknya negara melalui kebijakan pemerintah seolah tak peduli dan terus memberikan kemudahan dan fasilitas bagi pengusaha dengan kapital represif untuk menguasai tanah termasuk kekayaan alam yang tersimpan didalamnya. Akibatnya rakyat sengsara, hidup miskin dan akhirnya mati karena kehilangan tanahnya.
Seperti Jokowi, presiden yang hobi membaca komik.
Konstitusi negara cenderung menjadi lembaran naskah fiktif. Menyuguhkan narasi yang memberi janji-janji dan impian kemakmuran. Namun kenyataanya, kumpulan-kumpuan nilai dan aturan sosial itu. Jauh dari praktek penyelenggaraan kehidupan rakyat yang adil dan sejahtahtera, baik secara materil maupun spiritual.
Kasus kedaulatan tanah pada rakyat dan negara, harusnya menjadi tolok ukur yang prinsip dan mendasar bagi paradigma dan perspektif pembangunan dalam dimensi apapun. Selain sebagai salah satu syarat berdirinya suatu negara. Tanah atau wilayah pada akhirnya ditempatkan sebagai sumber kehidupan bagi rakyat dalam kehidupan bernegara dan berbangsa.
Jika saja Jokowi terus membiarkan penguasan lahan bebas dan mutlak dikuasai segelintir orang. Dengan kekuatan bojuasi korporasi atas nama investasi tapi mengorbankan hajat hidup rakyat, termasuk menghilangkan hak konstitusi rakyat atas tanah. Maka sesungguhnya Jokowi adalah seorang yang tidak lagi dapat membedakan peran dan fungsinya sebagai presiden yang wajib melayani dan melindungi rakyatnya.
Ia karena ketidak mampuan, atau mungkin saja tidak berpihak kepada kepentingan rakyat. Apalagi bagi pemimpin ataupun pejabat pemangku kepentingan publik. Tanah harus dilihat sebagai sebuah nilai dan sumber kehidupan bagi sebagian besar rakyatnya.
Bagi kesejahteraan hidup petani khususnya, bagi kehidupan masyarakat desa pada umunya serta seluruh warga negara yang membutukan negara dalam memenuhi kebutuhan sandang, pangan dan papan. Dimana semua itu tidak berarti apapun dan bernilai penting tanpa ditunjang kepemilikan tanah bagi rakyat.
Jokowi jika mengabaikan dan menganggap remeh ketimpangan persoalan lahan dan pelbagai sengketa tanah yang dialami rakyat. Presiden yang sering dianggap sebagai bagian dari oligarki dan boneka korporasi borjuis itu. Perlahan tapi pasti akan membahayakan kehidupan rakyat, negara dan bangsa.
Penggusuran rumah dan tanah rakyat, menjadi satu indikator kegagalan pemerintahan yang memiliki efek domino kegagalan pemerintah menanggulangi kemiskinan dan pada akhirnya menjadi kegagalan rezim kekuasaan meredam kekecewaan dan kemarahan rakyat.
Jauh dari mewujud revolusi agraria. Bahkan sekedar mewujudkan satu alinea yang luhur terhadap “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai negaradan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”. Rezim pemerintah yang dikomandoi Jokowi telah gagal melaksanakan amanat konstitusi.
Presiden yang sering mengumbar janji bohong itu, pada akhirnya telah berkhianat pada UUD 1945. Juga berkhianat pada para pendiri bangsa, para pahlawan dan seluruh rakyat Indonesia yang demi kemedekaan RI rela berkorban kehilangan nyawa menumpahkan darahnya di tanah negeri ini.
Program Sertifikasi Tanah Sistematika Langsung (PTSL) yang menjadi program unggulan pemerintah dengan pemberian sertifikat yang tidak gratis itu. Pada esensinya menjadi strategis yang jitu untuk secara umum melegalisasi hak dan kepemilikan tanah para konglomerat dengan biaya murah. Negara telah bersiasat melepaskan hak tanah rakyat kepada gurita korporasi modal besar.
Semoga negara bukan hanya sekedar hadir, tapi juga dapat mewujudkan tanah untuk rakyat. Agar negara tak kehilangan rakyatnya.
Penulis, Pegiat Sosial dan Aktifis Yayasan Human Luhur Berdikari.