JAKARTA – Anies Baswedan menyulut bara kesadaran geopolitik dengan satu pertanyaan tajam “Kemana Presiden Indonesia saat dunia berkumpul membahas masa depan?” dalam sambutannya di Rapimnas I Gerakan Rakyat di Hotel Aryaduta, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (13/7/2025),
Dengan gaya khasnya yang tenang namun penuh jebakan logika, Anies mengkritik absennya Presiden RI dalam forum-forum penting PBB, yang selama ini hanya diwakili Menteri Luar Negeri.
“Bertahun-tahun kepala negara kita absen. Kalau PBB punya buku absen, nama Indonesia mungkin sudah pakai tinta merah,” seloroh Anies, disambut tawa ringan peserta Rapimnas.
Anies tak sekadar mengeluh, tapi menohok. Ia mengibaratkan Indonesia sebagai rumah nomor empat terbesar di kampung global, tapi warga RT lain cuma tahu kita dari iuran, bukan dari ide.
“Bayangkan, kita rumah nomor 4 terbesar di kampung, tapi tiap rapat kampung nggak pernah muncul. Cuma iuran aja yang dibayar. Mau rame, tapi nggak datang, ya jangan ngambek kalau namanya nggak pernah disebut,” katanya disambut tepuk tangan.
Menurut Anies, Indonesia harus tampil bukan hanya sebagai penonton dunia, tapi sebagai pemain utama dalam panggung global. Ia menyayangkan potensi besar Indonesia hanya dilirik orang luar karena penduduknya, tapi bukan karena diplomasi politiknya.
“Jangan sampai dunia lebih tertarik pada kita dibanding pemimpin kita sendiri. Kalau kita terus pasif, jangan heran kalau investor masuk lebih dulu daripada pemimpin di sidang internasional,” ujarnya.
Ia menyinggung bahwa Indonesia, dengan stabilitas yang relatif unggul dibanding tetangga Asia Timur dan Selatan, justru lebih sibuk urus drama dalam negeri ketimbang tampil sebagai aktor perdamaian kawasan.
Anies juga menyentil para konglomerat domestik agar tidak hanya jago kandang. Mereka yang sudah besar seharusnya mulai ‘berangkat merantau’ ke panggung global.
“Kalau raksasa semua rebutan lahan di kampung sendiri, ya kapan kita punya unicorn yang bisa galak di luar negeri?” kata mantan Mendikbud ini.
Sebaliknya, pelaku ekonomi kecil dan menengah justru harus didorong naik kelas di dalam negeri. Menurut Anies, ini soal ekosistem ekonomi yang adil bukan hanya siapa yang sudah punya modal lebih dulu.
Beranjak ke dalam negeri, Anies menyuarakan kegelisahan atas potensi kemunduran demokrasi yang melanda banyak negara dan Indonesia tak kebal.
“Demokrasi itu penting bukan karena bikin rame, tapi karena bikin jeda. Kalau kebijakan meleset, ada masa jabatan. Kalau tanpa demokrasi, yang meleset bisa sampai cucu kita tamat SMA,” sindirnya tajam, namun disambut gelak peserta.
Anies menegaskan bahwa gagasan perubahan harus terus dirawat, bukan cuma jadi jargon pemilu lima tahunan. Demokrasi, katanya, bukan pesta elite, tapi cara rakyat ikut menata masa depan—tanpa harus menunggu ‘pintu bisik-bisik kekuasaan’.
Kepada para kader Gerakan Rakyat, Anies menitip pesan agar tetap menjadi penjaga moral, nalar, dan daya tahan perjuangan.
“Jaga stamina fisik, moral, intelektual, dan kolektif. Jangan cuma kuat pas naik panggung, tapi letoy pas jalan sunyi,” ujarnya sambil mengingatkan bahwa perjuangan untuk perubahan bukan sprint 100 meter, tapi maraton 42 kilometer.
Dia menyampaikan harapan besar terhadap Gerakan Rakyat untuk terus menyuarakan keadilan, menyebarkan gagasan persatuan, dan menjaga nyala demokrasi—meski angin kekuasaan kadang berhembus ke arah lain.
“Selamat bertukar pikiran. Semoga Rapimnas ini tak cuma ramai di spanduk dan selfie, tapi juga dicatat sejarah sebagai bab penting perjuangan orang-orang baik untuk republik yang lebih baik,” tutupnya, disambut aplaus panjang.***