TANGGAMUS – Revitalisasi SDN 1 Negara Batin, Kecamatan Kota Agung Barat, Kabupaten Tanggamus, yang menelan anggaran APBN sebesar Rp760.287.074, kini menjadi bahan pembicaraan hangat. Bukan hanya karena nilainya yang besar, tetapi karena banyak hal “terasa tidak kelihatan” bahkan oleh para guru di sekolah itu sendiri.
Program revitalisasi ini merupakan bantuan pemerintah dari Direktorat Jenderal PAUD Dikdasmen, Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah, dengan waktu pengerjaan 90 hari kalender. Namun alur pekerjaan di lapangan tampaknya lebih mengikuti pola “siapa dekat, dia dapat”, ketimbang mengikuti Juknis secara disiplin.
Seorang guru, saat ditemui Senin (8/12), mengaku bahwa seluruh kendali revitalisasi berada di tangan kepala sekolah. Para guru hanya diundang rapat awal itu pun mendadak dan pembentukan tim pelaksana yang seharusnya standar, ternyata hanya sekadar janji manis.
“Dewan guru tidak dilibatkan sama sekali. Tahu-tahu bendahara pelaksana ditunjuk langsung oleh Kepsek, dan yang ditunjuk ya, keponakan kepsek sendiri,” ungkap guru tersebut.
Sebuah praktik yang kalau di dunia sepak bola mungkin sudah disamakan dengan pelatih menurunkan starting line-up berdasarkan hubungan keluarga, bukan kemampuan.
Guru itu juga menegaskan bahwa mereka sama sekali tidak tahu siapa pelaksana proyek sesungguhnya.
“Kalau mau konfirmasi ya langsung ke Kepsek. Kami tidak tahu apa-apa,” ujarnya.
Drama berlanjut ketika Andi, kepala tukang sekaligus pemborong, memberikan keterangan berbeda 180 derajat.
Ia secara terbuka mengaku memborong pengerjaan empat ruang kelas tiga ruang belajar dan satu ruang kantor guru dengan nilai Rp45 juta.
“Saya borong empat lokal ini. Upah tukang Rp130 ribu per hari, kenek Rp100 ribu,” jelasnya.
Andi juga mendeskripsikan pekerjaannya sebagai “relatif ringan”, hanya mengganti kusen dan memplester ulang.
“Daripada saya nganggur, ya saya ambil saja,” tambahnya.
Namun anehnya, saat kepala sekolah Tsanawiyah dimintai keterangan pada 9 Desember 2025, jawabannya justru kontradiktif: “Tidak ada sistem borongan. Semua harian.”
Pernyataan yang membuat publik bertanya-tanya: yang salah ingat ini siapa kepala sekolah atau realitas?
Ketidaksinkronan tak berhenti di soal pelaksanaan. Pada tahap material pun ditemukan kejanggalan serius. Kepala sekolah sempat menyatakan bahwa RAB mewajibkan penggunaan semen Tiga Roda. Namun hasil peninjauan lapangan justru menunjukkan penggunaan Dinamik dan Indocement.
Dalam proyek pemerintah, pemilihan merek material bukan perkara selera seperti memilih rasa es krim. Merek sudah baku karena menyangkut harga dan kualitas. Karena itu, selisih merek sama artinya dengan potensi selisih anggaran.
Pantauan media memperlihatkan kualitas pengerjaan yang dinilai jauh dari ideal:
- Pondasi menggunakan campuran batu kali dan batu pecah yang disusun acak.
- Campuran adukan diduga menggunakan perbandingan 1 semen : 5 pasir, di luar standar konstruksi.
- Beberapa bagian bangunan tampak dikerjakan ala kadarnya, seolah-olah targetnya bukan “kuat sampai 20 tahun”, tapi “asal kelihatan jadi”.
Praktik semacam ini bukan hanya menyalahi aturan, tetapi juga berisiko membuat bangunan lebih cepat rusak daripada waktu pengerjaan 90 hari.
Kenapa Tidak Semua Ruang Direhabilitasi? Jawaban Kepsek: Anggaran Tak Cukup. Jawaban Lapangan: Kok Tetap Setengah Jadi?
Kepala sekolah beralasan dana Rp760 juta lebih tidak mencukupi untuk merehabilitasi seluruh ruangan. Tapi temuan di lapangan mengatakan cerita berbeda: pekerjaan terkesan setengah matang, kualitas tidak seragam, dan sejumlah ruang justru tidak tersentuh.
Hingga kini, aroma ketidakwajaran menguat:
- Pelaksana proyek tidak jelas.
- Guru tidak dilibatkan.
- Pengakuan pemborong dan kepala sekolah bertolak belakang.
- Material tidak sesuai RAB.
- Kualitas pekerjaan meragukan.
- Pengawasan Dinas diduga lemah atau bahkan absen.
Dengan sederet keganjilan ini, revitalisasi SDN 1 Negara Batin seolah berubah dari proyek peningkatan fasilitas pendidikan menjadi “revitalisasi tanda tanya”.***












