BEKASI — Rapat Paripurna DPRD Kota Bekasi, Senin (28/7/2025), yang membahas Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) RPJMD 2025–2029 semestinya menjadi momen sakral antara eksekutif dan legislatif karena salah satu agendanya mengesahkan janji kampanye Rp100 juta per RW.
Namun dalam Paripurna tersebut Wali Kota Bekasi Tri Adhianto tidak muncul di podium kebijakan untuk kedua kalinya secara berturut-turut membuat anggota dewan dari Fraksi PKB sempat melayangkan intruksi.
Melalui anggota dewan Ahmadi, Fraksi PKB menegaskan, “Ini bukan sinetron yang bisa ditinggal sebentar terus dimaklumi. Ini rapat paripurna, bukan acara reuni!”ucapnya.
Ahmadi bahkan menyentil bahwa Wakil Wali Kota Harris Bobihoe bukan “ban serep” yang bisa dipakai cuma saat darurat. “Kalau mobilnya mogok, ya jangan salahin ban serep kalau mesinnya hilang,” katanya.
Di tengah dinamika ruang paripurna, satu hal yang menarik perhatian adalah janji kampanye Wali Kota Tri Adhianto yakni bantuan Rp100 juta per RW per tahun.
Program ini telah resmi masuk ke dalam RPJMD 2025–2029. Targetnya cair di akhir 2025, namun masalahnya, janji manis ini belum dilengkapi dengan gula administrasi. Petunjuk teknis (juknis) dan pelaksana (juklak) masih mengambang di langit Bekasi, belum turun ke tanah RW.
Padahal uangnya bukan untuk pembangunan infrastruktur, tapi honorarium dan operasional RW. Yang artinya bisa langsung dikunyah, kalau tak hati-hati bisa nyangkut di tenggorokan hukum.
Fraksi PKS pun angkat suara. Mereka mengingatkan, jika aturan main tidak jelas, program Rp100 juta ini bisa lebih cepat bikin repot dibanding bikin manfaat.
Sejumlah pengurus RW yang dihubungi mengaku bingung. Uang memang menggiurkan, tapi tanpa juklak-juknis, mereka merasa seperti dihadiahi bom waktu berbungkus amplop cokelat.
“Lucu kalau bukan tragis. Kita disuruh terima dana, tapi gak tahu format laporan, gak tahu syarat pencairan, dan gak tahu siapa yang bertanggung jawab kalau belakangan disangka ngibulin negara,” ujar Dani, pengurus RW di Jatiasih, Senin (28/7/2025), dengan nada cemas.
Ia menambahkan, “Jangan sampai kami dijadikan ‘kelinci percobaan’ hanya demi janji politik yang tergesa. Ujung-ujungnya bukan operasional yang cair, tapi air mata.”imbuhnya sebagaimana dilansir Wawai News.
Secara politis, janji Rp100 juta per RW bisa jadi tiket emas menuju popularitas. Tapi tanpa perangkat hukum dan teknis yang memadai, ini tak lebih dari proposal keribetan massal.
Kini, pertanyaannya bukan lagi “kapan cair?”, tapi “siapa yang mau bertanggung jawab kalau dana ini jadi bumerang hukum?”. Jangan sampai warga diberi harapan, lalu dijebak dalam lubang administrasi yang bahkan pejabat pun ogah isi.***