Oleh: Fajar Alvarisi, Ketua Balebuku Foundation, Jakarta
WAWAINEWS.ID – Masih ingat gerakan “akhir pekan tanpa ke mal”? Beberapa tahun lalu sempat muncul gerakan yang diinisiasi aktivis sosial di Jakarta untuk melakukan kegiatan akhir pekan bersama keluarga di luar ruang, bukan di dalam mal.
Gerakan ini muncul melihat keprihatinan masyarakat perkotaan, khususnya di Jakarta yang sepertinya minim tempat beraktivitas di luar ruang. Seandainya ada, tempatnya hanya itu-itu saja. Monas, Taman Mini Indonesia Indah, dan Ancol. Sudah.
BACA JUGA: Capres atau Presiden Gagal?
Keterbatasan ruang publik yang memadai tersebut, membuat mal seakan jadi satu-satunya tempat tujuan untuk berlibur di akhir pekan. Akibatnya, mal penuh. Tidak hanya ruang di dalam mal yang padat. Akses jalan di sekitar mal pun sering kelebihan kapasitas dan membuat macet panjang.
Saat Anies Baswedan mulai memimpin Jakarta, dia menggulirkan program penyediaan ruang ketiga bagi warga. Ruang ketiga adalah ruang yang biasa digunakan beraktivitas di luar rumah, kantor, dan sekolah.
Mal sebenarnya termasuk ruang ketiga. Hanya saja, untuk menikmati fasilitas di mal, pengunjung harus menyiapkan uang yang lumayan. Untuk makan dan menikmati fasilitas tempat bermain di mal misalnya, satu orang belum tentu cukup dengan dana Rp100 ribu. Bila jumlah anggota keluarga empat orang, dana yang disediakan setidaknya Rp400 ribu-Rp500 ribu.
BACA JUGA: Mengubah Euforia Menjadi Militansi Rakyat Pada Anies
Konsep ruang ketiga yang disediakan Anies adalah ruang ketiga yang bisa diakses oleh warga dengan gratis. Lokasinya tentu saja di ruang publik yang mudah diakses oleh warga. Dalam waktu lima tahun kepemimpinan Anies Baswedan, banyak sekali ruang ketiga yang dibangun dan dinikmati warga.
Beberapa contoh ruang ketiga yang dibangun atau direvitalisasi di masa kepemimpinan Anies Baswedan adalah Tebet Eco Park, Terowongan Kendal Dukuh Atas, Taman Ismail Marzuki, Taman Bacaan Marta Christina Tiahahu, Kota Tua Jakarta, dan lainnya.