Catatan Kritis Kepemimpinan Airlangga Hartarto – Part 1
Semenjak penulis menulis Partai Golkar dengan segala perspektif politik dari tahun 2006 hingga kini memasuki tahun 2019, Partai Golkar tetap konsisten pada wilayah pembangunan kader/SDM kepemimpinan baik di internal hingga kepemimpinan eksternal.
Kepemimpinan eksternal dimaksud adalah Partai Golkar selalu mentradisi berada pada jalur structural pemerintahan, baik pemerintahan paling bawa Bupati/Walikota, Gubernur maupun setingkat Menteri hingga melahirkan kader potensial untuk maju sebagai presiden dan wakil presiden RI dari setiap momentum pemilu serta pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.
Golkar dalam hitungan politik sebagai partai besar di Indonesia, dari berkuasanya era orde baru, kalah di pemilu 1999, menangnya pemilu di era Dr. Ir.Akbar Tandjung, melahirkan wakil presiden dan calon presiden Bapak Jusuf Kalla (JK), Partai Golkar kembali mencalonkan presiden Aburizal Bakrie bahkan di era Setya Novanto tetap menjadi partai yang kuat dan punya kekuatan baik di pemerintahan eksekutif hingga pimpinan di lembaga legislatif.
Kepemimpinan era Akbar Tandjung Partai Golkar sebagai partai modern terbentuk dari institusi partai yang professional, memiliki kader Partai Golkar yang tetap berada pada jalur organisasi apapun dan membangun bangunan partai dinamis serta mengurangi tradisi kekuasaan figure tunggal dalam Partai Golkar itu sendiri.
Kepemimpinan JK, Partai Golkar berada di jalur pemerintahan Era SBY (Soesilo Bambang Yudhoyono) yang notabene Golkar memiliki JK sebagai wakil presiden dan memiliki kekuatan parlemen (DPR RI) yang kuat.
Sehingga JK dalam bahasanya Prof.Dr. Buya Syafi Maarif (cendekiawan dan mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah) “JK, the rieal president” artinya bahwa JK di era presiden SBY juga menjadi bagian dari presiden bayangan, karena JK mampu menjadikan bagian terpenting dari kekuatana politik Partai Golkar di saat itu dalam pemerintahan SBY-JK.
Aburizal Bakri dengan takeline golkar sebagai partai “suara golkar suara rakyat” juga sangat mampu mengendalikan Golkar di lefel calon Presiden RI, yakni ikut mendorong Bapak JK sebagai calon president RI (walaupun akhirnya di kalahkan oleh SBY-Boediono di periode kedua), pada akhirnya Bakrie kembali melakukan lobi-lobi politik untuk masuk sebagai partai pemerintahan SBY jilid II.
Aburizal Bakrie ialah seorang pengusaha sukses dan menjadi politisi senior di internal Partai Golkar yang memiliki jiwa kesatria dalam pembangunan generasi di Partai Golkar.
Ical panggilan akrab Aburizal Bakrie juga kembali eksis mencalonkan diri sebagai Presiden RI di tahun 2014, namun di saat itu beliau sangat sadar dan bijak menyikapi terkait dengan pencalonanya, alhasil beliau bersama Golkar kembali mendukung pasangan Prabowo-Hatta di Pemilu Presiden dan wakil presiden tahun 2014.
Setelah kepemimpinan Ical, kepemimpinan Golkar kembali di ambil oleh Setya Novanto, tokoh Golkar yang sempat menjadi Ketua DPR RI dan kini akhirnya di jerat hukum soal kasus korupsi.
Pasca Setnov nama singkat dari Setya Novanto di ganti oleh figure muda yang menjabat Menteri Perindustrian Bapak Airlangga Hartarto, Golkar kembali menjadi partai pemerintah yang totalitas di dukung langsung oleh Ketua Umum baru.
Golkar ala Ketua Umum Airlangga menjadi kajian ilmiah dalam perspektif politik masa kini, apakah Airlangga sebagai Ketua Umum sukses menjalankan Golkar sebagai partai pemenang 2019 atau partai yang kalah dalam pemilu maupun melahirkan tokoh-tokoh politik sebagai capres dan cawapres di Negeri ini.
Fakta politik memberikan kita argumentasi bahwa Partai Golkar di era Airlangga tentu membutuhkan satu evaluasi khusus untuk menjadi pelajaran berharga bagi kader Partai Golkar seluruh Indonesia.
Pertanyaan – pertanyaan politik yang menjadi otokritik terhadap perkembangan partai diantaranya adalah: 1). Kenapa Partai Golkar tidak mendorong kader-kader potensial untuk maju sebagai capres dan cawapres RI 2019.
2).Kenapa kursi DPR RI Partai Golkar berkurang. Dan 3). Kenapa kepengurusan Golkar hampir tidak kelihatan memunculkan tokoh-tokoh politik nasional maupun daerahnya.
Ini fakta politik yang berbeda di argumentasi oleh Rizal Malarangeng selaku (Ketua DPD Partai Golkar DKI Jakarta) bahwa Partai Golkar sukses pemilu 2019 dengan alasan bahwa Partai Golkar bisa menjadi partai pemenang kedua setelah PDIP, kedua adalah Golkar mampu mengembalikan opini negative di masa kepemimpinan Setnov yang di anggap Golkar sebagai partai “koruptor”.
Ketiga, Golkar memiliki sejumlah figure politik nasional yang hebat dan banyak bisa mencitrakan Golkar sebagai partai yang berkualitas dan memberikan prestasi kepada masyarakat banyak. Keempat, Partai Golkar memiliki strategi pemenangan yang jitu. (Rizal Malaranggeng, Opini, www.qureta.com).
Dialektika narasi diatas antara penulis dan Ketua DPD Partai Golkar DKI harus benar-benar menjadi satu ide besar bahwa kenapa Golkar masih menjadi partai pemenang kedua, kenap Golkar begini dan begitu. Itulah alasan membuat kita untuk memberikan argumentasi ilmiah, agar golkar di masa akan datang bisa jauh lebih baik. Karena partai ini, siapapun Ketua Umumnya tetap menjadi partai yang sehat dan memberikan pelajaran kepada seluruh partai politik agar bisa menjadi partai yang tidak memiliki figure tunggal alias menghindari partai “oligarkhi politik”.
Dari pandangan atau pertanyaan penulis dan juga pemikiran Rizal Malaranggeng merupakan bagian dari tesis untuk membaca Partai Golkar dari berbagai sudut pandang, meminjam istilah Hegel bahwa inilah yang namanya dialektika pemikiran dan fakta, tesis kita tentu berbeda dengan tesis orang lain, namun beranjak dari semua ini, patut kita memikirkan bagaimana menjawab pertanyaan maupun pernyataan dalam rangka perbaikan masa depan politik kepemimpinan Partai Golkar.
Omah Sendok, Jakarta Selatan, 11 Juni 2019
Penulis : Muliansyah Abdurrahman, selaku Peneliti di Institut Politik Indonesia (IPI) dan Penulis Buku Ideologi Politik Golkar