LAMPUNG – Suasana Aula Itera, Minggu (20/7/2025), terasa semarak namun sarat harapan. Di tengah wajah-wajah semangat 213 mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Internasional II, Gubernur Lampung Rahmat Mirzani Djausal menyampaikan sambutan yang lebih dari sekadar basa-basi formal, ia mengundang mereka menjadi motor penggerak transformasi, bukan sekadar penumpang sejarah.
Mahasiswa yang hadir bukan kaleng-kaleng. Terdiri dari 177 mahasiswa PTN wilayah barat Indonesia dan 36 mahasiswa asing dari negara-negara dengan sejarah pergolakan seperti Palestina, Yaman, Myanmar, hingga negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand.
KKN Internasional II ini bukan semata agenda jalan-jalan atau pelengkap SKS. Diselenggarakan oleh BKS-PTN Barat dan digawangi oleh UIN Raden Intan dan Unila, program ini menyasar Lampung Timur dan Pesawaran sebagai “laboratorium sosial” di mana teori bertemu realita, dan idealisme diuji oleh harga cabai dan sinyal 3G.
Gubernur Rahmat Mirzani Djausal dalam sambutan penuh retorika tapi terasa tulus menegaskan bahwa mahasiswa hadir bukan untuk selfie, melainkan untuk menjadi penghubung antara cita dan fakta, antara kampus dan kampung.
“Jadikan KKN ini sebagai laboratorium sosial yang hidup, di mana ilmu, nilai, dan aksi berjalan beriringan,” katanya, mungkin sambil berharap mahasiswa tidak hanya sibuk bikin konten reels edukatif tapi juga ikut turun ke lumpur desa.
Ia juga menyerukan kepada masyarakat untuk tidak hanya menerima kehadiran mahasiswa sebagai “tamunya Pak Kades,” tapi turut terlibat aktif. Karena sejatinya, perubahan tak lahir dari presentasi PowerPoint, tapi dari gotong royong dan sambel terasi di warung ibu-ibu PKK.
Gubernur tidak melewatkan kesempatan untuk memberi sedikit kuliah ekonomi. Dengan gaya yang entah mirip pengamat atau peramal, ia mengungkapkan kondisi ekonomi Lampung: peringkat empat di Sumatra, tapi pendapatan per kapita ke-tiga terbawah. Sebuah ironi yang, kalau disajikan di TikTok, pasti viral dengan caption “ketika kaya tapi nggak kerasa”.
“Mayoritas warga kita di sektor pertanian, tapi pendapatannya rendah. Ini bukan soal kerja keras, tapi soal tata kelola yang perlu dibenahi,” katanya.
Maka muncullah diksi-diksi wajib pembangunan: hilirisasi, SDM unggul, pertumbuhan inklusif, dan tentu saja, ekonomi berkelanjutan. Semua terdengar indah, tapi rakyat mungkin akan lebih lega kalau harga gabah dan pupuk juga ikut berkelanjutan – dalam artian stabil dan manusiawi.
Gubernur juga menyerukan agar pertumbuhan di Sumatra tidak lagi seperti anak kos: sendiri-sendiri dan menunggu kiriman. Ia mendorong terbentuknya ekosistem pertumbuhan terintegrasi antarprovinsi.
“Sumatra harus tumbuh sebagai satu kesatuan,” ujarnya, mungkin sambil membayangkan Sumatra sebagai Avengers ekonomi yang tak lagi kalah saing dengan Jawa.
Rektor Itera, Prof. I Nyoman Pugeg Aryantha, dalam laporannya menjelaskan bahwa program KKN ini terbagi dua: Online Course (2 Juni–16 Juli) dan Onsite Course (21 Juli–23 Agustus).
Artinya, setelah cukup lama “KKN dari rumah”, kini saatnya mahasiswa benar-benar “turun gelanggang”, bukan hanya “turun bandwidth”.
“Kami berharap kegiatan ini mempererat kolaborasi PTN dan memperkuat pendidikan tinggi Indonesia,” ungkap Prof. Nyoman, yang sepertinya juga sedang memperkuat sinyal harapan dari dunia akademik untuk dunia nyata.
Acara ini dihadiri para tokoh penting: dari Rektor Unila, Bupati Lampung Timur, hingga Forkopimda. Lengkap sudah formasi formalitasnya.
Tapi harapan publik, tentu lebih besar dari sekadar potret bersama dan naskah sambutan yang sudah dicetak sehari sebelumnya.
KKN Internasional di Lampung ini tampaknya bukan sekadar program pengabdian, tapi juga peluang introspeksi nasional.
Bahwa negara ini tidak kekurangan gagasan yang kurang adalah implementasi, integritas, dan kadang, sinyal Wi-Fi.
Mahasiswa hadir membawa ilmu dan semangat. Gubernur hadir membawa narasi dan harapan. Rakyat hadir membawa kenyataan.
Kini tinggal kita tunggu: apakah hasil dari pertemuan ini akan seperti hasil seminar nasional ramai di pembukaan, sepi di tindak lanjut?.***