Oleh: Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – “Tersandera kekuasaan”. Begitulah narasi dibangun Anies Baswedan. Atas sikap parpol tidak memberi dukungan tiket kepadanya maju lagi pilgub Jakarta.
Sebelas dua belas dengan narasi Habib Riziek Syihab. Ketika meredakan “pertengkaran” pendukung PKS dan Anies Baswedan. Pendukung Anies tidak perlu menyalahkan PKS. Karena tersandera. Begitu kata Habib Rizieq.
Narasi itu bisa berdimensi dua hal.
Pertama, sebagai apologi kegagalan belaka. Parpol membangun koalisi didasarkan pertimbangan rasional. Menguntungkan secara politik bagi masa depan partai.
Anies Baswedan memang masih memiliki loyalis fanatik. Akan tetapi tidak memiliki nilai strategis lagi digandeng sebagai figur koalisi.
Partai tidak bisa dipaksa memenuhi hasrat politik sejumlah pihak saja. Harus mempertimbangkan banyak aspek. Khususnya pertimbangan kelangsungan masa depannya.
Untuk keluar dari realitas itu: tekanan loyalis fanatik dan rasioalitas masa depan parpol. Narasi “tersandera” menjadi way out. Jalan keluar untuk tidak kehilangan muka dihadapan sejumlah loyalisnya.
Bahwa realitas peruntungan politiknya telah berakhir. Maka perlu narasi “tersandera”. Sebagai kambing hitam belaka. Apologi.
Kedua, narasi “penyanderaan” menggambarkan realitas. Oleh potensi terbongkarnya kasus hukum. Membelit partai-partai itu.
Bisa dipahami kasus hukum merupakan satu-satunya alat sandera. Dalam konstruksi narasi itu.
Power sharing tidak bisa dikategorikan penyanderaan. Melainkan bagian dari rasionalitas politik. Sudah selayaknya parpol meraih peluang terbaik yang menguntungkan secara politik. Membuang kesempatan peluang terbaik justru merupakan keanehan.
Maka tafsir atas narasi “penyanderaan” bisa kita pastikan sebagai penyanderaan kasus hukum.
Partai-partai disendera kasus hukum, sehingga tidak bisa independen. Khawatir kasusnya ter (di) bongkar, maka tidak berani mencalonkan Anies Baswedan.
Narasi Anies Baswedan dan Habib Rizieq seputar diksi “tersandera” harus dimaknai seperti itu. Atau lebih dekat maknanya dengan sudut pemaknaan seperti itu.
Jika benar yang dimaksud “tersandera” adalah kasus hukum, tentu menguntungkan rakyat. Di sinilah keberpihakan Anies Baswedan terhadap rakyat diuji.
Seharusnya ia membeberkan kepada publik. Kasus-kasus hukum apa saja yang membelit partai-partai itu.
Sehingga parpol harus takhluk pada kekuasaan dan merugikan dirinya. Merugikan dari pencalonannya sebgai gubernur.
Agar terbuka peluang bagi aparat hukum tidak bisa menghindar melakukan tindakan hukum.
Pertengkaran politik tidak jarang membawa berkah bagi rakyat. Persekongkolan kejahatan tidak terbongkar karena tidak terdeteksi publik.
Bahkan publik tidak memiliki akses secara mudah untuk mengetahui beragam kejahatan itu.
Ketika faksi-faksi politik saling bongkar kasus hukum, tentu menggembirakan rakyat. Rimba raya pelanggaran hukum menjadi terkuak.
Aparat tidak bisa menghindar untuk menjalankan fungsinya: menegakkan hukum.
Ketika civil society belum terlalu kuat, pertengkaran faksi-faksi politik merupakan salah satu celah bagi penegakan hukum. Memberi informasi kepada khalayak, bahwa telah terjadi pelanggaran hukum. Untuk terus didesak tindak lanjut penanganannya.
Rakyat tentu menunggu pertengkaran-pertengkaran politik itu. Ketika kolaborator kejahatan bertengkar. Kemenangan akan menjadi milik rakyat.
Terbongkarnya kasus-kasus hukum akan menjadi kemenangan rakyat.
ARS (rohmanfth@gmail.com), Jaksel, 18-09-2024.***