wawainews.id – Seni Dikir, merupakan salah satu kesenian dari Lampung, terutama dialek ‘O’ cukup akrab dengan seni yang tak ubahnya berbalas pantun dengan beragam sampiran syair nya itu.
Sepertinya Seni Dikir sekarang ”mati segan hidup tak mau”. Dikir sebagai sebuah kesenian tentunya membutuhkan masyarakat pendukung. Jika seni itu sudah tidak lagi dikembangkan, otomatis kesenian ini akan punah untuk selamanya.
Dulu, hingga era tahun 1990-an, Seni Dikir, menjadi favorit setiap ada acara besar seperti pernikahan, sunatan dan lainnya. Dikir sebagai seni pertunjukan yang dimainkan oleh dua grup perempuan dan laki-laki. Mereka akan saling berbalas syair layaknya pantun tapi dengan menggunakan bahasa daerah Lampung.
Dari masing-masing pemain seni Dikir mereka saling berhadapan menggunakan rabbana untuk ditabuh setelah selesai berpantun dengan nada khas tersendiri, seolah tengah membaca mantra ataupun gaya tersendiri tergantung asal daerah dalam hal ini desanya.
Seni dikir juga tak jarang menarik perhatian karena lontaran syair ataupun pantun yang disuara dengan cara khas dalam bahasa lampung dialek ‘o’ tersebut terkadang berisi banyolan, hingga mengundang sorak penonton. Uniknya setiap syair akan diiringi tabuhan rabbana secara perlahan.
Terkadang ada juga, berisi Nasehat, petuah hidup, cerita masa lampau, bahkan sindiran terkait kondisi terkini baik bidang pemerintahan, desa dan kebiasaan lainnya dalam keseharian orang Lampung. Sindiran itu membuat mereka yg disindir tidak marah, itulah khas gaya mengkritik orang Lampung yang santun.
Apapun bisa mereka jadikan sajak yang dilantunkan melalui pengeras suara, Dikir mirip dengan pantun di Melayu, yang berbalas pantun antara tuan rumah dan tamu. Saling sindir, dengan cara khas, jika ada yang kalah maka akan di sorak dengan menabuh rabbana maka kemudian berganti tema lain.
“Dikir, dulu jadi favorit kaula muda, karena selain dikir dulu ada acar bujang gadisnya. Tapi sekarang, sangat jarang. Apalagi acara bujang gadis seperti ngayak sepertinya sudah tidak ada lagi dan punah,”ucap Niyako, warga Gunung Sugih Besar, Lampung Timur, Minggu (20/9/2020).
Namun seiring dengan berkembangnya zaman, keberadaan kesenian Dikir ini semakin terancam kepunahannya. Dikir menjadi tontonan langka, digantikan acara orgen tunggal atau istilah mereka funky. Dikir mulai ditinggalkan berganti hiburan lainnya.
Kesenian Dikir, saat ini seolah tidak ada generasi penerus, jika dulu pelaku kesenian Dikir masih banyak dimainkan gadis kampung atau bujang. Sekarang terlihat mereka yang main kesenian dikir sudah terlihat dewasa kebanyakan emak-emak dan pria yang sudah berumur.
Dikir sebenarnya memerlukan kecerdasan dan wawasan, untuk dijadikan bahan syair saat tampil. Karena mereka pemain kesenian Dikir sekali tampil bisa sampai pagi dan berhenti menjelang shalat subuh. Itu lah keunikan dari kesenian dikir meski tidak ada yang menonton dulu mereka tahan sampai pagi berbalas syair tidak tidur terbuai keasyikan tersendiri. Dikir memiliki nilai seni yang tinggi.
Di tengah makin terkikisnya berbagai tradisi asli Lampung. Banyak hal yang bisa diambil hikmah dari semuanya seperti undangan pemuda diajak makan, saat acara pernikahan, pemimpin pemuda di kampung dan lainnya sudah mulai ditinggalkan.
Minat generasi muda belajar seni dikir harus dihidupkan lagi,. Sehingga bisa mewarisi salah seni tradisi yang memiliki nilai seni yang tinggi. Pemuda kampung kami memimpikan adanya festival Dikir.
Catatan Seni Tradisi Redaksi