BANDAR LAMPUNG – Setelah sempat putus sekolah akibat himpitan ekonomi, seorang anak perempuan berusia 16 tahun di Bandar Lampung akhirnya dipastikan akan kembali melanjutkan pendidikan. Kepastian itu disampaikan langsung oleh Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Arifah Fauzi, di Jakarta, Minggu (26/10/2025).
“Kami sudah berkoordinasi dengan UPTD PPA Kota Bandar Lampung, tidak ditemukan indikasi perundungan. Fokus kami sekarang memastikan anak kembali bersekolah, dan ia sudah bersedia melalui program Kejar Paket B,” ujar Arifah.
Namun di balik pernyataan resmi itu, terselip ironi lama, mengapa hak dasar anak harus menunggu rapat koordinasi dan siaran pers baru dipenuhi?
KemenPPPA bersama UPTD PPA dan Dinas Pendidikan setempat kini berjanji akan memantau keberlanjutan pendidikan sang anak. Pendampingan psikososial pun disiapkan—sebuah istilah birokratis untuk mengatakan “kami akan mencoba membuatnya semangat lagi.”
Kisah ini berawal sejak Februari 2024, ketika sang ibu mengajukan surat pindah sekolah ke pesantren, sesuai keinginan anaknya. Tapi niat itu kandas di tembok klasik bernama “keterbatasan ekonomi.” Kini, gadis itu tinggal bersama ibu dan saudara-saudaranya, membantu mencari barang bekas untuk bertahan hidup.
“Ibu dan anak sudah terdaftar sebagai penerima manfaat Program Keluarga Harapan (PKH). Kami juga sudah memberikan edukasi agar anak tidak dilibatkan dalam mencari nafkah,” kata Arifah menambahkan.
Pernyataan itu terdengar mulia di atas kertas namun di lapangan, anak-anak serupa jumlahnya ribuan. Mereka hidup di antara jargon program sosial dan kenyataan ekonomi yang tetap keras.
Arifah berharap dukungan lintas instansi akan membuka jalan bagi anak tersebut untuk menuntaskan pendidikan dan membangun masa depan yang lebih baik. Harapan itu patut disambut, meski sebagian publik mungkin bertanya,
apakah “masa depan yang lebih baik” harus selalu datang terlambat?
KemenPPPA menegaskan komitmennya untuk terus melindungi anak dari kekerasan, eksploitasi, dan diskriminasi. Namun bagi anak-anak miskin yang terpaksa bekerja membantu keluarga, perlindungan bukan soal komitmen melainkan keberanian negara untuk hadir sebelum mereka kehilangan masa kecilnya.***













