LAMPUNG – Oknum Kepala Desa disebut turut kecipratan uang rasuah melalui bagi hasil dari keuntungan kegiatan bedah rumah atau bantuan stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) di Lampung Timur tahun 2020.
Hal tersebut disampaikan salah seorang saksi yang dihadirkan dalam sidang lanjutan perkara Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) terhadap dana APBN dan dana yang bersumber dari pinjaman Bank Dunia untuk kegiatana BSPS di Lamtim di Pengadilan Negeri (PN) Tipikor Tanjungkarang, Jumat siang (16/04/2021).
Jaksa dalam sidang lanjutan tersebut menghadirkan delapan saksi enam saksi diantaranya merupakan tenaga Fasilitator Program BSPS. Seorang Saksi dari Fasilitator bernama Risdiyanto mengungkapkan dirinya pernah melihat oknum Kades turut menerima bagian uang dari toko bangunan penyedia bahan material yang ditunjuk.
Menurut Risdiyanto, uang tersebut adalah hasil dari permainan harga material bangunan yang selisihnya diartikan sebagai keuntungan untuk dinikmati bersama.
“Waktu itu di Rumah Makan Adirejo, ada saya, terdakwa Ratno, Kades Asahan, dan dua lainnya berkumpul, dan di situ saya lihat ada bagi-bagi uang dari toko bangunan untuk Ratno dan Kades,” ungkapnya dilansir dari Kirka.co.
Kesaksian tersebut sempat mendapat reaksi hakim untuk terkait petunjuk teknis pelaksanaan penyaluran dana BSPS kepada penerima bantuan, yang seharusnya toko penyedia bahan bangunan ditunjuk langsung oleh penerima bantuan. Kenapa toko dapat berurusan langsung dengan para Fasilitator?.
Saksi menjelaskan bahwa dalam pelaksanaannya selama ini, toko bangunan bukan diarahkan oleh penerima bantuan seperti yang ada di dalam petunjuk teknis, melainkan diarahkan langsung oleh Koordinator Fasilitator sesuai dengan hasil rembuk bersama dengan Kepala Desa.
“Saksi, pernah baca nggak petunjuk teknis pelaksanaan BSPS ini, kok toko bangunan bisa berurusan langsung dengan Fasilitator, bukannya seharusnya urusannya langsung ke para penerima bantuan?” tanya Hakim Gustina.
“Jadi begini Yang Mulia, toko itu kami sendiri yang survei, sebelumnya pernah rembuk dulu dengan Kades, setelahnya kami berangkat cek harga dan kami bikin proposal harga bahan material itu, dan selanjutnya toko penyedia ditunjuk sendiri oleh terdakwa Ratno,” jawab Risdiyanto.
Diketahui pada dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Ratno Supriyadi selaku Koordinator Fasilitator pada kegiatan BSPS tahap II Kabupaten Lampung Timur, didakwa melakukan perbuatannya dengan cara membuat dan menentukan harga sendiri untuk pembangunan rumah para Keluarga Penerima Bantuan (KPB), yang melebihi harga normal dengan kesepakatan permintaan fee dari setiap bahan material yang ia beli dari toko yang ditunjuk sebagai penyedia bahan, dengan besaran bervariasi dari Rp 800 ribu hingga Rp 2 juta.
Untuk kegiatan bedah rumah dalam program BSPS sendiri di Kabupaten Lampung Timur Ratno Supriyadi memfasilitasi sebanyak 250 unit, dimana kegiatan tersebut dilaksanakan di beberapa desa diantaranya Desa Asahan Kecamatan Jabung berjumlah 100 unit, Desa Bungkuk, Marga Sekampung sebanyak 50 unit, Desa Peniangan Kecamatan Marga Sekampung sebanyak 50 unit, serta di Desa Gunung Mas Kecamatan Marga Sekampung yang sebanyak 50 unit.
Oleh karena perbuatannya tersebut, negara dirugikan sebanyak Rp 320 juta, dan terdakwa Ratno pun dijerat oleh Jaksa dengan 3 (tiga) dakwaan alternatif yakni Pasal 12 huruf b, Pasal 11, atau Pasal 5 ayat (2) Undang-undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tipikor, dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 20 tahun, dengan ancaman hukuman pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.