TANJUNGKARANG – Mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Pringsewu, Heri Iswahyudi, akhirnya duduk di kursi pesakitan. Bukan karena salah baca ayat, tapi karena diduga “menyelewengkan” dana hibah LPTQ (Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur’an) tahun 2022 sebesar Rp584 juta lebih.
Ironisnya, dana yang seharusnya membumikan Al-Qur’an justru ditengarai digunakan untuk “mengangkasa” pribadi.
Sidang perdana digelar di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Tanjungkarang, Rabu (8/7/2025), dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Enan Sugiarto, S.H., M.H., bersama dua rekannya Firman Khadah Tjindarbumi dan Heri Hartanto.
Dalam sidang yang agendanya pembacaan dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejari Pringsewu, disebutkan bahwa Heri tidak sendirian dalam dugaan aksi “ngutip berkedok dakwah” ini.
“Terdakwa didakwa bersama dua pelaku lainnya, yakni Tri Prameswari (bendahara LPTQ) dan Rustiyan (sekretaris LPTQ), yang sudah lebih dahulu disidangkan,” ujar Kadek Dwi Ariatmaja, Kasi Intel Kejari Pringsewu.
Jaksa mendakwa Heri Iswahyudi dengan Primair Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 dan Subsidair Pasal 3 UU Tipikor, jo. Pasal 55 KUHP. Kerugian negara berdasarkan audit: Rp584.464.163 angka yang tidak dibaca dalam tartil, tapi cukup untuk bikin publik mual.
Diduga, dana hibah yang seharusnya digunakan untuk kegiatan syiar Al-Qur’an malah “diselewengkan” dalam praktik yang jauh dari tuntunan kitab suci.
Publik pun bertanya-tanya, apakah “LPTQ” kini singkatan dari “Lembaga Penyedot Tilawah Qur’an”?
“Ini dana hibah untuk dakwah, bukan untuk safari ke kas pribadi,” celetuk seorang warga Pringsewu yang enggan disebutkan namanya.
Seperti sudah bisa ditebak dalam serial drama pengadilan tanah air, penasihat hukum terdakwa langsung menyatakan akan mengajukan eksepsi atau nota keberatan atas dakwaan JPU.
Mungkin berharap jaksa salah baca laporan, atau kitab hukumnya kurang fasih.
“Sidang ditunda hingga Selasa, 15 Juli 2025 dengan agenda penyampaian eksepsi,” lanjut Kadek.
Persidangan sendiri berjalan lancar, meski beberapa pengunjung sidang tampak mengernyitkan dahi—bukan karena sulitnya pasal, tapi karena sulit membayangkan ayat suci ikut terseret dalam pusaran korupsi.
Kasus ini memunculkan kembali pertanyaan klasik apakah dana keagamaan aman dari incaran tikus berdasi? Dalam banyak kasus, ternyata program-program berbasis moral dan keimanan justru rawan ditunggangi oleh kepentingan pragmatis.
“Kalau benar dana syiar disikat, itu sama saja menodai kitab suci pakai kwitansi palsu,” ujar pengamat hukum yang enggan disebut namanya karena takut ikut ditilap.
Kini, publik menanti langkah hakim: apakah akan menjadikan kasus ini sebagai momentum membersihkan ranah dakwah dari aroma busuk penyalahgunaan dana, atau justru kembali menjadi serial drama hukum yang ending-nya bikin iman goyah?***