PESAWARAN – Aroma rumput liar yang menyelimuti kantor Pemda dan gedung DPRD yang lebih mirip rumah hantu daripada rumah rakyat, para Kepala Desa se-Kabupaten Pesawaran malah berlayar meniru bukan menyelesaikan.
Tujuannya? Desa Teluk Bakau, Kecamatan Gunung Kijang, Kabupaten Bintan. Waktu pelaksanaan? Jumat, 25 Juli sampai Minggu, 27 Juli 2025. Pulangnya? Santai saja, hari Senin.
Kegiatan yang dihelat oleh Dinas PMD Kabupaten Pesawaran ini seolah menjadi contoh sempurna dari pepatah, ketika dapur tak ngebul, dapur sebelah yang malah dikunjungi.
Pasalnya menurut Mahmudin, Aktivis Gerakan Masyarakat Anti Korupsi (G-MAKI), kegiatan ini bukan sekadar tak relevan, tapi juga tak tahu diri.
“Ini bentuk ketidakpekaan paling terang-terangan. Gaji aparat desa sejak Mei belum dibayar, malah dananya dialihkan ke trip belajar-belajar manja ke Kepulauan Riau,” sindir Mahmudin dengan nada yang tak bisa lebih serius.
Kondisi infrastruktur publik di Pesawaran? Rusak dan terlantar. Gedung DPRD tampak seperti bangunan yang disiapkan untuk uji nyali, dan kantor Pemda konon amburadul seperti belantara.
Kata Dinas PMD, tujuan studi tiru adalah belajar tentang BUMDes dan ketahanan pangan yang sukses menghasilkan “ratusan juta”. Tapi Mahmudin menyentil balik:
“BUMDes di Pesawaran itu kalau dicari, tinggal kenangan. Sudah bertahun-tahun dikucuri dana miliaran, tapi tidak ada satu pun yang kelihatan hasilnya. Entah hilang, entah jadi siluman.”tegasnya sebagaimana dikutip Wawai News dari Harian Teropong, Rabu 30 Juli 2025.
Lebih janggal lagi, peserta studi tiru dilarang mengunggah kegiatan ke media sosial. Hal ini, menurut Mahmudin, memperkuat dugaan bahwa kegiatan ini bukan untuk dibanggakan, tapi disembunyikan.
“Jika ini studi tiru yang legal dan bermanfaat, mengapa takut disorot publik? Ini seperti mencuri di siang bolong lalu marah saat disenter,” ujarnya.
Ketika dimintai keterangan, Kepala Dinas PMD Pesawaran, Nur Asikin, justru menghindar. Konfirmasi dari media dijawab dengan template khas birokrat senior: “Saya sedang yasinan, besok lagi ya.” Rupanya, antara pekerjaan rutin dan membaca Yasin, klarifikasi untuk publik berada di antrean paling akhir.
“Mohon maaf, saya lanjutkan pekerjaan rutin, belum bisa melayani media satu per satu,” ujarnya. Padahal yang dipertanyakan bukan jumlah kerja, tapi penggunaan anggaran rakyat.
Dan ketika ditanya soal manfaat kegiatan, ia justru melempar ke Dinas Kominfo. Tentu, seperti biasa, jawaban juga belum turun karena mungkin sedang dirapatkan dalam grup WhatsApp.
Mahmudin dan G-MAKI tak tinggal diam. Mereka mendesak Bupati Dendi Ramadon agar mempertanggungjawabkan kegiatan ini, terlebih karena masa jabatannya yang makin mendekati garis finis.
“Capacity building itu harus berdasarkan kebutuhan, bukan berdasarkan peta wisata. Kalau tidak mendesak, batalkan saja. Pesawaran ini butuh solusi, bukan pelesiran,” tutup Mahmudin, dengan sindiran setajam kutang keris yang tak pernah diasah.
Kisah ini bukan sekadar berita tentang perjalanan dinas. Ini adalah ironi tentang bagaimana birokrasi bisa berjalan meski rakyatnya tertatih. Gaji aparat desa? Ditunda. Perbaikan gedung rakyat? Diabaikan. Tapi anggaran untuk studi tiru? Lancar jaya.***