Poin-poin yang diatur dalam regulasi itu juga dinilai telah melindungi pelaku pelanggaran HAM berat. Hal tersebut jelas bertolak belakang dengan komitmen Indonesia untuk segera meratifikasi Statuta Roma ICC, seperti telah dijanjikan dalam UPR 2017
“(Revisi UU TNI) menjadikan Indonesia sebagai pembangkang terhadap komitmen HAM internasional,” tulis koalisi kembali.
Koalisi bahkan mengkhawatirkan adanya potensi Indonesia dikenai sanksi oleh dunia internasional akibat tidak mematuhi komitmen-komitmen tersebut dan tetap melanjutkan revisi UU TNI.
“Jika draf ini dipaksakan, Indonesia akan menghadapi konsekuensi serius di berbagai forum HAM PBB, termasuk sanksi diplomatik,” ujar koalisi.
Selain itu, koalisi juga menilai revisi UU TNI akan mengembalikan praktik dwifungsi militer yang menjadi ciri represif dari era Orde Baru. Revisi UU TNI ini dinilai mengkhianati Reformasi 1998 dan justru akan memuluskan jalan bagi militerisme dan impunitas.
Adapun HRWG terdiri dari
- Aliansi Jurnalis Independen Indonesia,
- Arus Pelangi,
- Asosiasi LBH Apik Indonesia,
- Elsam,
- Gaya Nusantara,
- Gerakan Perjuangan Anti Diskriminasi,
- HuMa,
- Ikohi,
- ILRC,
- Imparsial,
- Infid,
- Institute for Ecosoc Rights,
- Jatam,
- Koalisi
- Perempuan Indonesia,
- LBH Banda Aceh,
- LBH Jakarta,
- LBH Pers,
- Migrant Care,
- Mitra Perempuan,
- PBHI,
- RPUK Aceh,
- SBMI,
- Setara Institute,
- SKPKC Papua,
- Solidaritas Perempuan,
- Turc,
- Walhi,
- Yappika,
- Yayasan Kalyanamitra,
- Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia, dan
- Yayasan Pulih.
Diketahui Komisi I DPR mengebut pembahasan revisi Undang-Undang TNI bersama pemerintah. Mereka menggelar rapat secara tertutup selama dua hari di Hotel Fairmont Jakarta untuk membahas ihwal daftar inventarisasi masalah atau DIM RUU TNI.***