LINGGA — Nasib tambang rakyat di Dabo Singkep masih saja menggantung. Sejak 1992, rakyat kecil terus menambang dengan status ilegal, sementara izin resmi alias IPR tak kunjung turun.
Ketua SAPMA PP Lingga, Muhammad Ilham, menegaskan, “Proses yang berlarut-larut ini bikin rakyat makin resah. Pemerintah jangan cuma lihai rapat, tapi nol soal izin.”
Nada serupa juga dilontarkan Ketua KNPI Lingga, Fikrizal, yang menyindir Pemkab lebih suka jadi penonton ketimbang jemput bola.
Padahal, tambang rakyat berpotensi jadi motor ekonomi daerah. Namun, tanpa legalitas, rakyat dibiarkan menggali tanah dengan rasa takut, sementara izin resmi terus terselip entah di meja birokrasi atau di tumpukan berkas.
Diketahui bahwa sejarah pernah mencatat, Dabo Singkep adalah primadona timah selain Bangka. Dari tahun 1812 hingga 1992, daerah ini bak mesin uang yang berkilau.
Tapi tersisa hanya lubang menganga, kisah masa lalu yang dipamerkan seperti album foto lawas, dan rakyat kecil yang masih setia mengais butiran timah dengan status ilegal ibarat bekerja keras tapi tetap diperlakukan seperti maling.
Puluhan tahun sudah, pemerintah menggembar-gemborkan jargon pemberdayaan rakyat. Namun, tambang rakyat Lingga masih beroperasi seperti rumah tangga tanpa akta nikah, jalan terus, tapi penuh rasa was-was.
Ketua SAPMA PP Lingga, Muhammad Ilham, menyentil keras lambannya peralihan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR) menjadi Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
“Kalau ini terus dibiarkan, rakyatlah yang jadi tumbal. Menambang sudah jadi mata pencaharian turun-temurun. Pemerintah jangan cuma lihai bikin seminar dan rapat koordinasi, tapi nol besar soal izin tambang rakyat,” tegas Ilham, Senin (16/09/2025).
Ilham menambahkan, banyak penambang akhirnya berhenti karena takut masalah hukum, sementara dapur tetap butuh asap.
“Proses berlarut-larut ini hanya bikin rakyat makin resah. Masyarakat butuh kepastian: kapan izin benar-benar terbit, bukan sekadar pidato,” ujarnya.
KNPI: Pemkab Jangan Jadi Penonton
Nada sama datang dari Ketua DPD KNPI Lingga, Fikrizal. Menurutnya, Pemkab Lingga tak bisa lagi sekadar “menunggu instruksi atasan” sambil ngopi santai.
“Pemkab harus jemput bola, bukan cuma nunggu bola. Kalau terus pasif, rakyat yang jadi korban. Kondisi sosial-ekonomi sekarang sudah di titik rawan,” katanya, Sabtu (14/9/2025).
Ketua F-SPSI NIBA Lingga menambahkan, kepastian hukum adalah harga mati. “Izin itu bukan sekadar selembar kertas. Itu nyawa ekonomi rakyat,” tegasnya.
Ironisnya, Bupati Lingga dalam sebuah dialog publik pekan lalu lagi-lagi menyebut, “proses administrasi masih berjalan.” Jawaban ini terdengar mirip notif aplikasi ojek online, driver on the way, tapi entah kapan sampai.
Padahal, kalau mau serius, tambang rakyat bisa sejajar dengan perikanan, perkebunan, hingga UMKM sebagai penggerak ekonomi daerah. Tentu dengan catatan: legal, transparan, dan berkelanjutan.
Tapi saat ini, rakyat masih dibiarkan menggali tanah dengan status haram versi hukum, sementara pejabat sibuk meresmikan baliho “Lingga Bangkit.”
“Kalau izin tambang untuk investor besar bisa selesai dalam hitungan minggu, kenapa izin tambang rakyat butuh bertahun-tahun? Jangan-jangan, izin rakyat ini ikut antre dengan proyek ibu kota baru,” sindir salah satu warga yang ikut menambang, sambil menambahkan, “Kalau terus begini, timah habis, izinnya nggak keluar-keluar.”
Rakyat Lingga kini masih menanti. Bukan sekadar izin, tapi bukti nyata bahwa pemerintah masih berpihak. Kalau tidak, legalitas tambang rakyat akan terus jadi drama tanpa episode terakhir mirip sinetron 1000 episode: penuh tangis, tanpa ending bahagia. ***






