KOTA BEKASI – Drama seputar nasib Pekerja Migran Indonesia (PMI), asal Kabupaten Tanggamus Eni Kusrini, kali ini memasuki babak kedua yang lebih membingungkan daripada sinetron prime time.
Pasalnya kontrak kerja kedua yang ia jalani sejak Desember 2021 di Hong Kong ternyata terindikasi ilegal, palsu, atau mungkin hasil sulap administratif, sebab tidak ditemukan dalam sistem resmi BP2MI.
Tim dari Red Justicia Law Firm Cabang Tanggamus, yang dikawal oleh Rudi Candra, mantan suami sekaligus penggagas pengusutan kasus ini, bertolak ke Bekasi dan Jakarta.
Misi mereka jelas, mengurai benang kusut kontrak kerja Eni Kusrini yang diduga dicetak oleh PT. Della Fadhil Anugrah (PT. DFA) sebuah agensi yang eksistensinya sempat bagaikan hantu, tercantum di kontrak, tapi tidak ada di gedung tempat seharusnya ia bernaung.
“Kita memang sedang kirim tim Red Justicia ke Jakarta untuk temui PT. DFA dan BP2MI. Tim dipimpin langsung Adi Putra Amril, S.H.,” ujar Kurnain, Ketua Red Justicia Tanggamus.
Saking seriusnya, mereka bahkan rela menembus kemacetan Jakarta dan wangi lobby perkantoran beraroma pendingin ruangan mahal.
Tanggal 23 Juli 2025, mereka menyambangi alamat resmi PT. DFA di Grand Slipi Tower Lantai 15. Namun setelah berputar-putar layaknya tamu tak diundang, mereka mendapati kenyataan jika nama PT. DFA tidak ditemukan sebagai tenant gedung tersebut.
Apakah PT. DFA punya kantor gaib atau hanya mencatut alamat untuk mempermanis dokumen? Masih misteri.
Tak putus asa, rombongan menuju kantor pusat BP2MI di Jalan MT. Haryono. Di sana, seorang pejabat bernama Pak Agung membuka sistem resmi dan menyampaikan temuan mencengangkan bahwa riwayat kerja Eni Kusrini hanya tercatat sampai kontrak pertama dengan PT. Sahabat Putra Pendawa.
Tidak ada jejak digital kontrak kedua, meskipun secara fisik dokumennya lengkap dengan nomor registrasi dan stempel Konsulat Jenderal RI di Hong Kong.
“Kalau ini bukan palsu, maka sistem BP2MI yang harus disidang,” celetuk salah satu tim dengan nada setengah bercanda, setengah muak.
Tanggal 24 Juli 2025, pukul 10.00 WIB, Red Justicia akhirnya berhasil bertemu pihak PT. DFA di kantor cabangnya di Graha Pegasolin, Jatibening, Kota Bekasi.
Hadir dalam pertemuan ini Direktur Sardono, Corporate Relation Rizal, serta perwakilan lain. Dari Red Justicia hadir Adi Putra Amril Darusamin, S.H., Indra Mustofa, Rudi Candra, dan Halimi.
Dalam pertemuan itu, tim hukum menjabarkan kronologi lengkap disertai bukti-bukti dokumen kontrak yang menyebut nama PT. DFA sebagai agensi.
Menariknya, pihak PT. DFA dengan wajah penuh heran mengaku: “Kami tidak pernah merasa menerbitkan kontrak itu, baik manajemen lama maupun baru.”jelas pihak DFA.
“Urusan internal kalian bukan urusan kami. Faktanya, kontrak itu menyebut nama kalian. Ada stempel resmi. Kalau bukan kalian yang keluarkan, siapa? Santa Claus?”tegas Adi Putra Amril dengan wajah serius dan merona.
Ia menuding keras bahwa PT. DFA harus bertanggung jawab karena dugaan pemalsuan dokumen ini telah melanggar:
- UU No. 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran,
- Permenaker No. 25 Tahun 2017,
- serta UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO).
Pihak PT. DFA, seperti biasa dalam situasi krusial, meminta “waktu untuk menyelidiki secara internal”. Namun Red Justicia memberi tenggat moral dan hukum, jika tidak ada tindak lanjut serius, kasus ini akan dibawa ke BP2MI dan Polda Metro Jaya.
“Kami tidak datang dari Lampung cuma buat denger ‘kami selidiki dulu’. Kalau terbukti, ijinnya dicabut, pelakunya masukin ke meja hijau. Negara jangan tunduk sama agensi siluman,” tegas Rudi Candra dengan wajah memerah memendam amarah yang tersimpan bertahun-tahun.
Kisah ini menyoroti bagaimana masih rentannya sistem perlindungan PMI, yang bisa dikelabui dengan stempel dan kertas yang tampak legal tapi tidak terlacak. Semoga negara ini segera belajar membedakan antara dokumen asli dan akal-akalan birokrasi.***