Scroll untuk baca artikel
Opini

Tragedi Kanjuruhan dan Rendahnya Budaya Malu Bangsa Kita

×

Tragedi Kanjuruhan dan Rendahnya Budaya Malu Bangsa Kita

Sebarkan artikel ini

Dan dia juga merasa tidak terlibat dalam tataran teknis pelaksanaan pertandingan, khususnya urusan pengamanan, antara Arema FC dan Persebaya itu.

Baca Juga: 127 orang tewas kerusuhan di Stadion Kanjuruhan Malang, Termasuk 2 anggota polisi

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Sesungguhnya, permintaan mundur pada Iwan Bule bukan saja dari nitizan, yang dalam petisi change.org saja sudah mencapai 32.000 orang, melainkan banyak pihak, baik ketua Bonek (supporter Surabaya), Barnis (Relawan Anies), pengurus PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), dan tokoh-tokoh persepakbolaan.

Sebenarnya bagaimana mengukur kejadian Kanjuruhan tersebut dengan sebuah pernyataan maaf yang serius? Apakah permintaan supporter Arema FC terlalu mengada-ada?

BACA JUGA :  Naturalisasi: Nasionalisme Indies, dan Terapi Luka Sejarah

Untuk itu kita harus melihat bagaimana standar moral elit kita dalam sebuah insiden yang bersifat menggegerkan atau dengan magnitute yang sangat besar. Kita mulai dari membandingkan dengan Korea Selatan.

Mengapa Korea, karena bangsa ini masuk dalam rumpun “Shame Culture”, bukan “Guilt Culture”, seperti Jepang, Ras China dan juga Indonesia. Dalam ” The Shame Culture “, David Broke, The New York Times, 15/3/2016, mengatakan bahwasanya seseorang sangat takut mengalami ” Social exclusion”, apalagi di era media sosial saat ini.

Pada medio April 2014, sebuah kapal Ferry yang mengangkut ratusan pelajaran tenggelam di Korea. Sebanyak 187 orang meninggal.

Sebelas hari kemudian Perdana Menteri Korea menyatakan mundur dari pemerintahan.

BACA JUGA :  Hasto Anugerah Penegakan Hukum

Baca Juga :Imbas Tragedi Kanjuruhan, Presiden RI Perintahkan Kompetisi Liga 1 2022 PSSI Dihentikan Sementara

Dalam pernyataannya yang dimuat BBC, 27/4/14, “cries of the families of those missing still keep me up at night” (Tangisan keluarga dari orang-orang yang meninggal menghantui saya setiap malam.

The Guardian, 27/4/14 memberitakan bahwa mundurnya Chung Hong Won itu sebagai simbol maaf dari pemerintah Korea.