JAKARTA — Dalam Rapat Koordinasi Terbatas (Rakor) yang digelar di Kantor Kemenko Bidang Pangan, Kamis (17/07) bersama 24 Wali Kota dan 4 Bupati dari berbagai penjuru Nusantara dikumpulkan untuk membahas masalah yang sama, sampah yang makin tak tahu diri dan TPA yang makin sesak napas.
Solusinya? Program Pengolahan Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL), yang kembali digaungkan.
Dipimpin langsung oleh Menko Pangan Zulkifli Hasan, didampingi Mendagri Tito Karnavian dan Menteri LHK Hanif Faisol Nurofiq, rapat ini sejatinya menjadi panggung pengakuan bahwa kita sudah terlalu lama memendam sampah dan menunda solusi.
Namun kali ini, skenarionya beda, sampah akan diubah jadi listrik. Dari masalah, menjadi energi. Dari bau, jadi cahaya. Setidaknya, itu harapannya.
“Kami Siap, Asal Bukan Siap-siap Melongo Lagi,”tegas Wali Kota Bekasi Tri Adhianto.
Salah satu yang terlihat paling antusias adalah Wali Kota Bekasi, Tri Adhianto, yang hadir bersama Kepala DLH Bekasi, Yudianto. Dalam sesi pernyataan kesiapan, Tri mengaku Bekasi “sangat siap” dan akan segera merencanakan titik lokasi pembangunan PSEL.
“Mudah-mudahan ini jadi solusi terbaik dalam mengurangi dampak sampah,” ujar Tri di sela rakor.
Tri menegaskan, kondisi TPA Bantargebang sudah overload, alias sudah bukan cuma penuh, tapi tumpah ruah, seperti agenda rapat yang tak kunjung menghasilkan aksi nyata.
Maka, kehadiran teknologi PSEL dinilai tak lagi sebagai opsi tapi sudah masuk kategori darurat nasional aroma.
Dalam arahannya, Zulkifli Hasan meminta kepala daerah segera menetapkan lahan dan memilih teknologi yang cocok untuk wilayah masing-masing.
Menko Pangan tak ingin program ini mangkrak hanya karena debat panjang soal tanah dan tender hal yang memang biasanya terjadi kalau urusan proyek besar sudah dekat dengan pesta demokrasi.
“Kalau bisa cepat, kenapa harus rapat berkali-kali?” ujar Zulhas dengan nada yang seperti memukul meja secara retoris.
Tri Adhianto dalam kesempatan juga mempromosikan upaya lokal yang sudah dijalankan, seperti edukasi pemilahan sampah dari rumah tangga.
Menurutnya, ini adalah “gerakan budaya bersih”. Tapi, pertanyaannya adalah, apakah masyarakat Bekasi sudah tahu bahwa sampah organik dan non-organik bukan ditentukan dari warna kantong plastik semata?
Edukasi pemilahan ini memang penting, tapi jika hanya sebatas poster di kantor kelurahan dan lomba RW bersih saat HUT Kota Bekasi, maka PSEL bisa-bisa hanya jadi singkatan lain dari “Program Sampah yang Entah Lagi”.***