Penggunaan acuan empat tahun, mengingat masa tersebut merupakan batas maksimal masa kehamilan.” (Ibnu Hajar Al-Haitami, Tuhfatul Muhtâj, cetakan pertama, Jilid X, halaman 457).
Pendapat qaul qadîm Imam As-Syafi’i rahimahullâh ini selaras dengan riwayat pendapat ulama lainnya. Dari generasi sahabat seperti ‘Umar bin Al-Khattab, Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, ‘Utsman bin ‘Affan, dan Ibnu Mas’ud radhiyallâhu ‘anhum. Sedangkan dari generasi tabi’in ada An-Nakhai’, Atha’, Az-Zuhri, Makhul dan As-Sya’bi.
عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ أَنَّ عُمَرَ وَعُثْمَانَ قَضَيَا بِذَلِكَ وَأَخْرَجَ سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ بِسَنَدٍ صَحِيحٍ عَنِ بْنِ عُمَرَ وَابْنُ عَبَّاسٍ قَالَا تَنْتَظِرُ امْرَأَةُ الْمَفْقُودِ أَرْبَعَ سِنِينَ وَثَبَتَ أَيْضًا عَنْ عُثْمَانَ وَابْنِ مَسْعُودٍ فِي رِوَايَةٍ وَعَنْ جَمْعٍ مِنَ التَّابِعِينَ كَالنَّخَعِيِّ وَعَطَاءٍ وَالزُّهْرِيِّ وَمَكْحُوْلٍ وَالشَّعْبِيُّ
“Diriwayatkan dari Sa’id ibnul Musayyab, sungguh Umar dan Utsman pernah memutuskan hukum demikian. Dengan sanad shahih, Sa’id bin Manshur meriwayatkan dari Ibn Umar RA dan Ibnu Abbas RA, keduanya berkata, ‘Istri mafqûd harus menanti empat tahun.’ Riwayat ini ada pula yang berasal dari Utsman dan Ibnu Masud, dan dari sekelompok tabi’in semisal An-Nakha’i, Atha’, Az-Zuhri, Mahkul, dan As-Sya’bi.” (Ibnu Hajar Al-‘Asqalâni, Fathul Bâri Syarh Shahîhil Bukhâri, [Beirut, Dârul Kutub Al-‘Ilmiyyah, tanpa tahun], jilid IX, halaman 538).
BACA JUGA: Inilah, Sejarah dan Peristiwa Penting dalam Penamaan Rabiul Akhir di Kalendar Hijriah
Dengan demikian, hukum menikahi perempuan yang ditinggalkan suaminya dibolehkan dengan mengacu pada 2 pendapat. Pertama, perempuan harus meyakini bahwa dia telah putus hubungan dengan suaminya entah karena kabar kematian, kabar ditalak, dan sejenisnya, selanjutnya menjalani masa iddah. Kedua, perempuan harus menunggu sampai 4 tahun sejak hilangnya keberadaan suami dan dilanjutkan dengan masa iddah selama 4 bulan 10 hari. Wallahu a‘lam.***