Oleh : Muhammad Zainul Millah
WAWAINEWS.ID – Tak terasa Puasa Ramadhan 1445 H/2024 sebenatar lagi memasuki separuh. Artinya mulai pertengahan sampai akhir bulan Ramadhan umat Islam disunahkan membaca doa qunut dalam rakaat terakhir shalat witir.
Yaitu dengan ketentuan dan tata cara yang sama dengan qunut shalat subuh. Dalam satu hadits disebutkan:
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ جَمَعَ النَّاسَ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ فَكَانَ يُصَلِّي لَهُمْ عِشْرِينَ لَيْلَةً وَلَا يَقْنُتُ بِهِمْ إِلَّا فِي النِّصْفِ الْبَاقِي
Artinya, “Umar bin Al-Khattab ra mengumpulkan orang-orang kepada Ubay bin Ka’b. Dia shalat berjamaah bersama mereka selama dua puluh malam dan tidak membaca doa qunut kecuali pada paruh akhir Ramadhan.” (HR Abu Dawud).
Dalam membaca doa qunut, imam dianjurkan untuk membaca doa dengan lantang, dan bagi makmum yang mendengarkan bacaan imam, dianjurkan untuk membaca “amin”.
Kecuali pada bagian tsana’ (puji-pujian kepada Allah), yaitu mulai pada lafal “fainnaka taqdhi”, maka makmum dianjurkan untuk membaca sendiri dengan lirih bersamaan dengan bacaan imam.
Pada pelaksanaannya, saat imam membaca puji-pujian, biasanya sebagian imam ada yang membaca dengan lirih karena makmum tidak dianjurkan membaca “amin”.
Sehingga praktik yang ditemukan adalah imam dan makmum semua membaca puji-pujian sendiri-sendiri dengan lirih. Benarkah demikian?
Dalam menanggapi permasalahan ini, para ahli fiqih mengatakan ada dua kemungkinan. Kemungkinan pertama, bisa jadi imam membaca lirih, sama dengan makmum, sebagaimana saat membaca dzikir-dzikir shalat, seperti membaca tasbih rukuk dan sujud, yang mana imam membacanya dengan lirih sama seperti makmum.
Kemungkinan kedua, imam membaca puji-pujian dengan lantang. Artinya bacaan qunut imam semuanya dibaca dengan lantang dan tidak ada yang dibaca lirih. Sebagaimana saat imam membaca doa meminta rahmat, meminta perlindungan dari neraka di dalam shalat, anjurannya imam membaca dengan lantang dan didengar oleh makmum.
Dari dua kemungkinan di atas, ulama lebih condong pada kemungkinan kedua, yakni imam tetap membaca lantang pada bacaan puji-pujian.
Sehingga praktik yang seharusnya dilakukan adalah imam membaca semua bacaan qunut dengan lantang, sedangkan makmum membaca “amin” dari awal qunut dan ketika sampai redaksi “fainnaka taqdhi”, maka makmum membaca puji-pujian sendiri secara lirih lirih bersamaan bacaan imam yang keras.
Syekh Zakaria Al-Anshari menjelaskan dalam kitab Asnal Mathalib:
قَوْلُهُ: وَفِي الثَّنَاءِ يُشَارِكُ إلَخْ إذَا قُلْنَا إنَّ الثَّنَاءَ يُشَارِكُهُ فِيهِ الْمَأْمُومُ فَفِي جَهْرِ الْإِمَامِ بِهِ نَظَرٌ يُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ يُسِرُّ كَمَا فِي غَيْرِهِ مِمَّا يَشْتَرِكَانِ فِيهِ وَيُحْتَمَلُ الْجَهْرُ كَمَا إذَا سَأَلَ الرَّحْمَةَ ، أَوْ اسْتَعَاذَ مِنْ النَّارِ وَنَحْوِهَا فَإِنَّ الْإِمَامَ يَجْهَرُ بِهِ وَيُوَافِقُهُ فِيهِ الْمَأْمُومُ وَلَا يُؤَمِّنُ كَمَا قَالَهُ فِي شَرْحِ الْمُهَذَّبِ وَقَوْلُهُ وَيُحْتَمَلُ الْجَهْرُ أَشَارَ إلَى تَصْحِيحِهِ
Artinya, “Ungkapan: “Dia turut serta dalam membaca puji-pujian …” Jika kita katakan bahwa makmum turut serta dalam membaca puji-pujian bersama imam, maka hukum imam membaca puji-pujian dengan suara keras ada pertimbangan.
Yaitu ia membaca lirih, seperti halnya pada dzikir lain yang sama-sama dibaca oleh imam dan makmum; dan boleh jadi ia mengucapkan puji-pujiannya dengan lantang, seperti saat dia meminta ampun, atau mencari perlindungan dari Neraka dan semisalnya, sungguh imam mengucapkannya dengan lantang. Sementara makmum membaca bacaan yang sama dan tidak membaca “amin”, seperti yang dikatakan oleh An-Nawawi dalam Syarhul Muhaddzab.
Adapun ungkapan penulis kitab: “Mungkin diucapkan dengan lantang,” menunjukkan penilaian shahih atau benar pada pendapat tersebut.” (Zakaria Al-Anshari, Asnal Mathalib, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah: 2013], juz II, Halaman 434).
Penyataan yang sama juga disampaikan oleh Imam Ar-Ramli dalam kitab Nihayah:
وَأَنَّهُ يَقُولُ الثَّنَاءَ سِرًّا وَهُوَ مِنْ فَإِنَّك تَقْضِي إلَى آخِرِهِ، أَوْ يَسْتَمِعُ لَهُ لِأَنَّهُ ثَنَاءٌ وَذِكْرٌ لَا يَلِيقُ بِهِ التَّأْمِينُ وَالْمُشَارَكَةُ أَوْلَى كَمَا فِي الْمَجْمُوعِ، وَالثَّانِي يُؤَمِّنُ فِيهِ أَيْضًا، وَإِذَا قُلْنَا بِمُشَارَكَتِهِ فِيهِ فَفِي جَهْرِ الْإِمَامِ بِهِ نَظَرٌ، يُحْتَمَلُ أَنْ يُقَالَ: يُسِرُّ بِهِ كَمَا فِي غَيْرِهِ مِمَّا يَشْتَرِكَانِ فِيهِ، وَيُحْتَمَلُ وَهُوَ الْأَوْجَهُ الْجَهْرُ بِهِ كَمَا إذَا سَأَلَ الرَّحْمَةَ أَوْ اسْتَعَاذَ مِنْ النَّارِ وَنَحْوِهَا فَإِنَّ الْإِمَامَ يَجْهَرُ بِهِ وَيُوَافِقُهُ فِيهِ الْمَأْمُومُ وَلَا يُؤَمِّنُ كَمَا قَالَهُ فِي الْمَجْمُوعِ
Artinya, “Dan (pendapat pertama-red) makmum mengucapkan puji-pujian secara lirih, yaitu dari lafal “fainnaka taqdh …”; atau hendaknya dia mendengarkan imam, karena itu adalah puji-pujian dan zikir yang tidak patut dibacakan “amin”.
Tapi membaca bersama imam lebih baik. Pendapat kedua, makmum tetap membaca “amin”.
Jika kita berpendapat makmum ikut membaca bersama imam, maka ada pertimbangan mengenai kerasnya bacaan imam.