Catatan Harian Abdul Rohman Sukardi
WAWAINEWS.ID – Kenapa BUMDES harus Koperasi?. Apa beda BUMDES Koperasi dan bukan Koperasi?.
Awal reformasi diwarnai euforia. Dekonstruksi segala hal terkait kebijakan Presiden Soeharto dianggap rute pendek.
Menuju kemajuan dan kemakmuran bangsa. Salah satunya KUD dimatikan.
Era-era berikutnya desa-desa berpacu mendirikan BUMDES. Badan usaha milik pemerintah desa.
Misinya mengelola ekonomi desa. Untuk kemajuan dan kesejahteraan warga desa. Ada yang berhasil. Ada yang tidak.
Di mana salahnya?. Bukankah misinya bagus. Memajukan kesejahteraan warga desa?
Setidaknya ada tiga alasan fundamental. Baik secara konsepsi penyelenggaraan ekonomi. Maupun secara konstitusi. Bahwa kepemilikan usaha skala desa tidak seharusnya diselenggarakan pemerintah desa.
Pertama, secara konsepsional.
Badan usaha yang beroperasi dalam lingkup desa dan dimiliki oleh pemerintah desa. Merupakan praktik etatisme.
Ialah konsep ekonomi: negara berserta aparatus ekonomi negara bersifat dominan. Mendesak, mematikan potensi, dan daya kreasi unit-unit ekonomi. Di luar sektor negara.
Pemerintah Desa merupakan unsur-unsur negara. Ujung tombak institusi negara pada level paling bawah. Bersinggungan dengan masyarakat secara langsung.
Memiliki dan menyelenggarakan badan usaha berarti menyerobot lapangan usaha masyarakat paling bawah. Menggerus ladang ekonomi masyarakat.
Ketika pemerintah desa memiliki institusi bisnis, itu merupakan praktik etatisme yang sempurna.
Kedua, secara konstitusional.
BUMDES yang dimiliki pemerintah desa, tidak memiliki legitimasi konstitusional. Pasal 33 ayat (2) menyatakan: “Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara”. Ini dasar konstitusional penyelenggaraan BUMN.
Cabang-cabang vital yang berpotesi mengurangi atau menghalangi pemerintah dalam memajukan kesejahteraan umum. Dalam melindungi segenap bangsa dan tumpah darah. Mencerdasakan kehidupan bangsa. Maupun dalam partisipasi mewujudkan ketertiban dunia. Maka dikuasai secara langsung oleh negara. Misi itu diselenggarakan BUMN. Bukan BUMDES.
Misalnya sektor kelistrikan. Ketika tidak dikuasai negara, akan berpotensi sabotase-sabotase merugikan rakyat. Juga sektor-sektor vital lainnya.
Perintah konstitusi, pemerintah hanya menyelenggarakan sektor vital.
Sementara lingkup usaha desa merupakan usaha skala kerakyatan. Bukan sektor-sektor vital.
Dengan demikian tidak ada perintah konstitusi kepada pemerintah desa menyelenggaran kegiatan ekonomi. Atau menjadi menjadi pelaku bisnis.
Sedangkan pasal 33 ayat (1) menyatakan: “perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Ayat ini merupakan dasar pijak konstitusional penyelenggaraan perkoperasian.
Koperasi merupakan badan usaha beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasarkan atas asas kekeluargaan (Pasal 1 UU Nomor 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian). Usaha koperasi ini paling sejalan dengan rumusan pasal 33 ayat (1) itu.
Ketiga, prinsip keadilan sosial.
Sektor swasta: kecil, menengah maupun korporasi besar. Merupakan lingkup Pasal 33 ayat (4). Bahwa perekonomian nasional dilaksanakan atas dasar demokrasi ekonomi.
Kesemuanya diberi ruang tumbuh secara adil dan demokratis.
Berdasar prinsip keadilan sosial, desa bukan obyek korporasi besar dalam penyelenggaraan kegiatan usaha. Potesi ekonomi lingkup desa milik warga desa setempat. Untuk mengelolanya.
Berdasar kerangka konstitusi hanya tersisa UMKM dan Koperasi sebagai pelaku ekonomi pada tingkat desa.
Bukan dibabat habis oleh institusi negara. Termasuk oleh negara dalam lingkup unit paling kecil: Desa.
Tidak pula dibabat perorangan kuat melalui korporasi besar.
Aset dan potensi desa sudah seharusnya dimiliki dan dikelola bersama segenap warga desa melalui institusi koperasi. Disamping pelaku ekonomi sekala mikro.
Pemerintah desa berkewajiban mendorong tumbuhnya koperasi dan UMKM pada lingkup desa.
Itulah kenapa BUMDES harus Koperasi. BUMDES dengan kepemilikan Pemerintah Desa tidak dikenal eksistensinya dalam konstitusi.
“Jenis kelamin” konstitusionalnya tidak jelas. Juga ketika didasarkan prinsip keadilan sosial.
ARS (rohmanfth@gmail.com), eks aktivis perkoperasian mahasiswa. Jaksel, 13-11-2024.