Scroll untuk baca artikel
Budaya

“Rindu Masa Lalu”: Arsip Visual 300 Goresan Jiwa Win Dwi Laksono di Equalitera Artspace

×

“Rindu Masa Lalu”: Arsip Visual 300 Goresan Jiwa Win Dwi Laksono di Equalitera Artspace

Sebarkan artikel ini
Seniman Win Dwi Laksono (tengah) saat konferensi pers pembukaan pameran karya ilustrasi dan sketsa di Equalitera Artspace Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Minggu (13/7/2025)

YOGYAKARTA — Suasana nostalgia kental menyelimuti ruang pamer Equalitera Artspace, Tamantirto, Bantul. Di sanalah seniman lintas media asal Yogyakarta, Win Dwi Laksono, menghadirkan lebih dari 300 karya ilustrasi dan sketsa dalam pameran tunggal bertajuk “Rindu Masa Lalu”, yang digelar mulai 13 hingga 26 Juli 2025.

Bekerja sama dengan Win Art Studio, pameran ini bukan sekadar parade visual, tapi lebih menyerupai arsip jiwa rekaman panjang proses kreatif dari tahun 1980 hingga 2024, yang dirangkai secara kuratorial oleh Terra Bajraghosa.

GESER UNTUK BACA BERITA
GESER UNTUK BACA BERITA

Setiap coretan, setiap garis, adalah pintu masuk menuju semesta masa lalu, baik personal maupun kultural.

“Pameran ini menghadirkan karya-karya dari tiga ranah penciptaan artistik: ilustrasi pendamping cerita, sketsa acuan karya tiga dimensi, serta sketsa bebas sebagai ekspresi personal,” terang Win saat konferensi pers.

BACA JUGA :  Para Raja Turun Gunung, Gugat "Politisasi" Adat Ike Edwin

Tak seperti lazimnya ilustrasi yang dianggap pelengkap narasi, Win Dwi Laksono memperlakukan ilustrasi sebagai jantung dari karya seni.

Dari garis hitam tipis hingga sapuan sketsa ekspresif, semuanya menjadi titik awal kelahiran patung, relief, dan diorama yang selama ini dikenal sebagai kekuatan utama Win.

“Saya menyerap kekuatan cerita dari sastrawan legendaris seperti Kho Ping Ho dan SH Mintardja. Dari sanalah muncul figur-figur tiga dimensi, dunia ‘plausible impossible’ tampak mustahil, namun terasa nyata,” tutur Win penuh semangat.

“Rindu Masa Lalu” bukan hanya perayaan visual, tapi juga ruang pengalaman budaya yang inklusif. Dalam ruang pamer disediakan audio deskripsi untuk beberapa karya pilihan, serta patung yang dapat diraba langsung oleh pengunjung tunanetra. Ini bukan sekadar bentuk kepedulian, tapi bentuk nyata seni sebagai milik bersama, bukan milik segelintir elit estetik.

BACA JUGA :  Karnaval Seni Kampung Bali Perkuat Kebhinekaan di Kota Bekasi

Ruang yang disusun ramah disabilitas tersebut memberi pesan bahwa seni tak semestinya berdiri di menara gading, ia harus menyentuh, merangkul, dan membuka ruang bagi semua indera.

Di antara deretan karya yang dipamerkan, terlihat jelas evolusi teknik dan imajinasi Win. Mulai dari sketsa bersahaja dengan pena hitam di awal 1980-an, hingga komposisi yang kompleks pada karya-karya terbarunya. Figur silat, adegan epik, hingga gestur penuh ekspresi, semuanya bercerita dalam diam.

Kurator Terra Bajraghosa menyebut karya Win sebagai “perjalanan batin yang dituangkan dalam visual, membentang dari tradisi sastra silat hingga seni rupa kontemporer.”

“Win telah membuktikan bahwa sketsa bukanlah versi mentah dari karya seni, melainkan bentuk karya utuh yang menyimpan energi ide paling murni,” ujar Terra.

BACA JUGA :  Kongres Bahasa Lampung Jadi Tonggak Pelestarian Budaya di Bumi Ruwa Jurai

“Rindu Masa Lalu” bukan sekadar tema puitis. Ia adalah pernyataan eksistensial kerinduan pada nilai-nilai, cerita, dan bentuk-bentuk visual yang menjadi warisan budaya populer di masa lalu, kini dihidupkan ulang dengan sentuhan kontemporer.

Bagi pengunjung, ini adalah undangan untuk menyusuri lorong waktu: menyelami kembali cerita-cerita silat yang dulu hanya bisa dibaca di lembaran majalah dan novel, kini berdiri dalam bentuk visual nyata, membumi, dan menggetarkan.

Pameran “Rindu Masa Lalu” di Equalitera Artspace akan berlangsung hingga 26 Juli 2025, terbuka untuk umum setiap hari pukul 10.00–17.00 WIB.

Sebuah kesempatan langka untuk menyaksikan rekam jejak visual 44 tahun perjalanan artistik dari salah satu seniman paling konsisten dan berkarakter di Indonesia.***